Minggu, 02 Februari 2014

KESAKRALAN MANTRA

KESAKRALAN MANTRA GAYATRI
Luh Ari Liani
(10.1.1.1.1.3880)
Abstrak
Agama Hindu di Bali bentuk pengamalan ajaran agamanya dengan berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam kehidupan keagamaannya diwajibkan untuk selalu dekat dan mendekatkan diri serta memuja Tuhan sebagai rasa bhakti dan ungkapan sujud karena penciptaan-Nya atas alam semesta beserta isinya diciptakan Tuhan dengan yadnya, maka dari itulah manusia wajib untuk menghaturkan yadnya pula sebagai rasa bhaktinya. Salah satunya adalah sembahyang atau sujud bhakti kepada Beliau. Agama Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara-upacara yadnya menggunakan sarana dan prasarana sembahyang berupa banten, api, air dan yang lainnya. Hal yang terpenting dalam melaksanakan yadnya adalah mantra. mantram “mantra” yang biasa juga disebut Pūjā, merupakan suatu doa, berupa kata atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Mantra juga biasanya berisi permohonan dan atau puji-pujian atas kebesaran, kemahakuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Mantra digunakan dalam berbagai upacara agama, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai kombinasi dan konteks, yang kemudian membuat vibrasi tertentu. Seseorang harus belajar untuk mengucapkannya dengan benar dan juga harus memahami artinya. Hindu meyakini adanya dewa, kesehatan yang baik, nasib yang baik, dan kemenangan atas musuh bisa dicapai dengan mengucapkan mantra tertentu (Chawdhri, 2003:97).
Pengertian Mantra Gayatri
Mantra merupakan suatu doa yang diucapkan berulang-ulang yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sedangkan Gayatri merupakan ibu weda. Jadi Mantra Gayatri merupakan  ibu veda, ibu mantra dan penghancur semua dosa. Dinyanyikan oleh semua orang beragama Hindu waktu sembahyang.

Contoh dari Mantra Gayatri adalah :
Oṁ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tat savitur vareṇyaṁ
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo naḥ pracodayāt
Terjemahannya :
Om Sang Hyang Widhi, kita menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kita.
Mantra gayatri membantu setiap pencari kebenaran, yang percaya akan kemanjurannya, kekuatan dan keagungannya, dari sekte manapun dia berasal atau dari kepercayaan atau iklim apapun dia datang. Yang menjadi patokan adalah keimanan seseorang dan kesucian hatinya. Sesungguhnya gayatri adalah benteng rohani yang tidak bisa tembus, benteng yang kukuh, bagi seseorang yang memiliki keimanan, menitiskan orang ini menjadi dewata dan memberkahi orang ini dengan sinar cemerlang dari pencerahan rohani yang paling tinggi. Apapun ista-devata anda, beberapa pengulangan dari beberapa mala-gayatri setiap harinya akan memberkahi semua dari anda yang paling baik dan paling mulia.
Mantra Gayatri bisa diterapkan secara universal karena mantra gayatri sebenarnya hanyalah doa yang khusuk untuk cahaya dan ditujukan kepada Roh Agung Yang Mahakuasa. Sesungguhnya hanya mantra gayatri ini sebenarnya sinar penunjuk jalan yang transendental. Gayatri sebenarnya adalah mantra yang paling mulia dan devata yang dipujanya adalah paramabrahman sendiri (Keshavadaa,1999:1).
Sakral merupakan sesuatu hal yang dikeramatkan, disucikan, diagungkan oleh seseorang yang memberikan kepercayaan bahwa hal itu memiliki nilai-nilai magis religius. Dalam hal ini mengenai kesakralan Mantra Gayatri. Semua orang khususnya yang beragama Hindu pasti sudah mengetahui tentang mantra gayatri. Selain digunakan sebagai media untuk persembahyangan yaitu menghubungan diri dengan Tuhan, mantra gayatri ini juga diyakini sebagai penolak bahaya, menghilangkan rasa takut atau cemas. Mantra Gayatri sangat dikeramatkan, disucikan oleh setiap umat yang beragama Hindu yang percaya bahwa dibalik mantra gayatri memiliki nilai-nilai magis religius. Hampir setiap upacara apapun melantunkan mantra gayatri ini. Ketika seseorang sudah mampu memberikan kepercayaan atau muncul suatu keyakinan terhadap mantra gayatri ini secara tidak langsung mantra ini akan dapat dirasakan. Betapa maha dahsyatnya mantra gayatri ini.


I.              Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Agama Hindu di Bali bentuk pengamalan ajaran agamanya dengan berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam kehidupan keagamaannya diwajibkan untuk selalu dekat dan mendekatkan diri serta memuja Tuhan sebagai rasa bhakti dan ungkapan sujud karena penciptaan-Nya atas alam semesta beserta isinya diciptakan Tuhan dengan yadnya, maka dari itulah manusia wajib untuk menghaturkan yadnya pula sebagai rasa bhaktinya. Salah satunya adalah sembahyang atau sujud bhakti kepada Beliau. Agama Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara-upacara yadnya menggunakan sarana dan prasarana sembahyang berupa banten, api, air dan yang lainnya.
Selain itu kidung dan mantra juga sebagai sarana dalam persembahyangan dimana kidung adalah nyanyian-nyanyian suci yang mengiringi jalannya upacara yadnya sedangkan mantram “mantra” yang biasa juga disebut Pūjā, merupakan suatu doa, berupa kata atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Mantra juga biasanya berisi permohonan dan atau puji-pujian atas kebesaran, kemahakuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Mantra digunakan dalam berbagai upacara agama, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai kombinasi dan konteks, yang kemudian membuat vibrasi tertentu. Seseorang harus belajar untuk mengucapkannya dengan benar dan juga harus memahami artinya. Hindu meyakini adanya dewa, kesehatan yang baik, nasib yang baik, dan kemenangan atas musuh bisa dicapai dengan mengucapkan mantra tertentu (Chawdhri, 2003:97).
Setiap upacara persembahyangan, pengucapan mantra yang benar merupakan persyaratan penting dan sesudah itu adalah wiramanya sebab hal itu menentukan kepada siapa sembah tersebut ditujukan. Kalau ucapannya salah dan wiramanya tidak benar maka tujuan yang hendak dicapai tidak kena. Di dalam kekawin Mahabrata dan Ramayana, dikenal berbagai macam wirama yang demikian indah dan sucinya, begitu pula di dalam wargasari.
Menurut para Mahārsi, mantra adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan pemenuhan keinginan, asalkan seseorang mengucapkannya dengan penuh keyakinan, sesuai dengan metode dan aturannya. Mantra hendaknya diucapkan dengan lembut, sehingga hanya didengar oleh orang yang mengucapkannya dan tidak didengar oleh orang-orang lain di sekitarnya. Misalnya pada mantra gayatri yaitu bagian mantra Tri Sandhya bait pertama (1) jika seseorang sudah tidak meyakini mantra gayatri ini maka akan tidak terjadi vibrasi apa-apa dan tidak akan dapat dirasakan besarnya pengaruh mantra gayatri ini. Jika sebaliknya maka akan mampu memberikan vibrasi yang sangat besar. Mantra gayatri merupakan media yang paling sesuai digunakan pada zaman Kali, di mana manusia dalam waktu hidup yang singkat harus berlomba dengan waktu demi memenuhi kebutuhan jasmaninya sehingga manusia tak punya banyak waktu untuk memenuhi kebutuhan rohani seperti yang dilakukan oleh Mahārṣi terdahulu sebagai contoh melakukan tapa yang cukup lama. Dalam sastra suci Weda disebutkan bahwa melakukan ‘Japa’ atau menyebut nama suci Tuhan berulang-ulang merupakan salah satu cara yang paling baik untuk meningkatkan spritualitas seseorang di zaman Kali ini dan dengan melakukan puja berarti Japa-pun sudah kita lakukan.


II.              Pembahasan
 2.1         Pengertian Mantra Gayatri
Mantra merupakan suatu doa yang diucapkan berulang-ulang yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sedangkan Gayatri merupakan ibu weda. Jadi Mantra Gayatri merupakan  ibu veda, ibu mantra dan penghancur semua dosa. Dinyanyikan oleh semua orang beragama Hindu waktu sembahyang.  Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti telah mengakui dan memuji Keagungan Tuhan dalam bentuk pengucapan ‘mantra Gayatri’ yang terletak pada bait pertama. ‘Gayatri mantra’ adalah mantra yang paling mulia di antara semua mantra.
Contoh dari Mantra Gayatri adalah :
Oṁ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tat savitur vareṇyaṁ
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo naḥ pracodayāt
Terjemahannya :
Om Sang Hyang Widhi, kita menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kita.
Inilah arti permukaan dari mantra ini. Mantra ini memiliki semua bija-mantra. Dalam versi pendek dari mantra ini, Om melambangkan Tuhan, bhuh mewakili bumi, bhuvah mewakili daerah-daerah atmosfir, melingkupi semua bagian dari daerahnya dewata-dewata dan setengah dewata sampai kepada matahari. Svah mewakili dimensi ketiga yang diketahui dengan nama svarga-loka dan semua loka-loka yang cemerlang di atasnya.
Dimana melafalkan mantra gayatri ini harus dengan penuh keyakinan, misalkan jika melaksanakan puja trisandhya kita harus benar-benar melakukannya, pengucapan yang benar dan penuh dengan keyakinan. Dari semua mantra, yang paling utama dan memiliki kekuatan yang dahsyat adalah mantra gayatri, mantra yang Agung. Mantra gayatri membantu setiap pencari kebenaran, yang percaya akan kemanjurannya, kekuatan dan keagungannya, dari sekte manapun dia berasal atau dari kepercayaan atau iklim apapun dia datang. Yang menjadi patokan adalah keimanan seseorang dan kesucian hatinya. Sesungguhnya gayatri adalah benteng rohani yang tidak bisa tembus, benteng yang kukuh, bagi seseorang yang memiliki keimanan, menitiskan orang ini menjadi dewata dan memberkahi orang ini dengan sinar cemerlang dari pencerahan rohani yang paling tinggi. Apapun ista-devata anda, beberapa pengulangan dari beberapa mala-gayatri setiap harinya akan memberkahi semua dari anda yang paling baik dan paling mulia.
Mantra Gayatri bisa diterapkan secara universal karena mantra gayatri sebenarnya hanyalah doa yang khusuk untuk cahaya dan ditujukan kepada Roh Agung Yang Mahakuasa. Sesungguhnya hanya mantra gayatri ini sebenarnya sinar penunjuk jalan yang transendental. Gayatri sebenarnya adalah mantra yang paling mulia dan devata yang dipujanya adalah paramabrahman sendiri (Keshavadaa,1999:1).
2.2         Kesakralan Mantra Gayatri
Sakral merupakan sesuatu hal yang dikeramatkan, disucikan, diagungkan oleh seseorang yang memberikan kepercayaan bahwa hal itu memiliki nilai-nilai magis religius. Dalam hal ini mengenai kesakralan Mantra Gayatri. Semua orang khususnya yang beragama Hindu pasti sudah mengetahui tentang mantra gayatri. Selain digunakan sebagai media untuk persembahyangan yaitu menghubungan diri dengan Tuhan, mantra gayatri ini juga diyakini sebagai penolak bahaya, menghilangkan rasa takut atau cemas. Mantra Gayatri sangat dikeramatkan, disucikan oleh setiap umat yang beragama Hindu yang percaya bahwa dibalik mantra gayatri memiliki nilai-nilai magis religius. Hampir setiap upacara apapun melantunkan mantra gayatri ini.
Jika ada seseorang yang tidak menyakini akan mantra gayatri ini maka nilai-nilai magis religiusnya juga tidak akan dapat dirasakan. Dan seseorang itu akan acuh tak acuh akan mantra gayatri ini. Ketika seseorang sudah mampu memberikan kepercayaan atau muncul suatu keyakinan terhadap mantra gayatri ini secara tidak langsung mantra ini akan dapat dirasakan. Betapa maha dahsyatnya mantra gayatri ini. Kesakralan dari mantra gayatri ini bagaimana sesorang mampu menyucikan mantra gayatri ini, memberikan kepercayan dan kesucian hati yang dijadikan sebuah benteng spiritual yang tangguh, yang melindungi dan menjaga para pengabdinya serta mengubahnya menjadi bersifat devatā dan memberkahinya dengan sinar cemerlang dari pencerahan spiritual tertinggi. Apabila seseorang secara teratur setiap harinya melantunkan mantra gayatri dengan penuh rasa keyakinan dan mampu memusatkan pikiran, seseorang itu akan dapat merasakan kekuatan yang menakjubkan yang dihasilkannya.
Kemurnian pikiran, kata-kata dan perbuatan, ketulusan dan keyakinan yang kokoh dalam mengulang-ulang mantra gayatri dan tanpa adanya tekanan atau ketegangan pada tubuh, otak dan tubuh itu adalah kunci pada keampuhan mantra yang diyakini seperti mantra gayatri.

III.           Penutup
Berdasarkan dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mantra gayatri merupakan mantra yang memiliki kekuatan yang dahsyat, mantra yang maha agung. Mantra Gayatri merupakan  ibu veda, ibu mantra dan penghancur semua dosa. Dinyanyikan oleh semua orang beragama Hindu waktu sembahyang. Yang menjadi dasar terhadap mantra ini adalah keimanan seseorang dan kesucian hatinya. Mantra gayatri membantu setiap pencari kebenaran, yang percaya akan kemanjurannya, kekuatan dan keagungannya, dari sekte manapun dia berasal atau dari kepercayaan atau iklim apapun dia datang. Mantra Gayatri bisa diterapkan secara universal karena mantra gayatri sebenarnya hanyalah doa yang khusuk untuk cahaya dan ditujukan kepada Roh Agung Yang Mahakuasa. Sesungguhnya hanya mantra gayatri ini sebenarnya sinar penunjuk jalan yang transendental. Gayatri sebenarnya adalah mantra yang paling mulia dan devata yang dipujanya adalah paramabrahman sendiri.
Pada pengucapan mantra gayatri hendaknya diucapkan dengan lembut, sehingga hanya didengar oleh orang-orang yang mengucapkannya dan tidak didengar oleh orang-orang lain disekitarnya hal ini akan sangat membantu dalam konsentrasi. Kesakralan dalam mantra gayatri itu bagaimana seseorang meyakini akan mantra itu yang mampu memberikan suatu vibrasi yang sangat dahsyat. Mantra gayatri setiap upacara dewa yadnya pasti dilantunkan dimana pun upacara itu dilaksanakan, bahkan di negara India pun juga percaya akan adanya mantra gayatri ini. Jika mantra ini sudah dapat dirasakan vibrasinya maka secara otomatis akan mensakralkan mantra gayatri ini. Mantra yang disucikan dan dikeramatkan.



Daftar Pustaka
Chawdhri, Dr. L.R. 2003. Rahasia Yantra Mantra dan Tantra. Surabaya : Paramita
Keshavadas, Sadguru Sant. 1999. Gayatri Semedhi Mahatinggi. Denpasar : PT Pustaka Manikgeni
Maswinara, I Wayan. 1997. Gayatri Sādhana. Surabaya : Paramita
Pulasari, Jro Mangku. 2009. Cakepan Alit Puja Weda Mantra. Surabaya : Paramita
Watra, I Wayan. 2006. Mantra dan Belajar Aneka Mantra (kumpulan berjenis-jenis mantra). Surabaya : Paramita

JURNALISTIK ( BERITA KRIMINAL)


Di Tinggal Sembahyang, Kamera Lenyap
Sabtu 2 November 2013 masyarakat Rendang Karangasem dibuat gempar. Pasalnya salah satu penduduk desa tersebut kehilangan sebuah camera dirumahnya sendiri. Si pemilik camera I Gede Arsa Arimbawa (22) merasa kecolongan sebab dia meninggalkam rumahnya dalam keadaan tidak terkunci, yang lebih membuat bingung si pencuri ternyata hanya mengambil camera dan uang senilai Rp 200.000 padahal di rumah tersebut ada beberapa barang berharga lainnya seperti hp, laptop, dompet. Kasus ini kemudian dilaporkan ke kapolsek Rendang Karangasem.
Dari keterangan saksi serta keterangan dari korban I Gede Arsa Arimbawa (22) ternyata kejadiannya bermula saat I Gede Arsa Arimbawa beserta keluarganya pergi bersembahyang ke pura Jagatnata yang letaknya kurang lebih 500 meter dari rumahnya. Karena jarak rumah dengan pura berdekatan I Gede pun tidak mengunci pintu rumahnya, akhirnya jam 9 malam saat I Gede Arsa kembali kerumah camera pun sudah lenyap bak di telan bumi. Berdasarkan keterangan inilah polisi kemudian melakukan penyelidikan, di mulai dari rumah korban sampai ke tetangga korban. Akhirnya penyelidikan pun berbuah manis. Kasus pencurian ini pun mengarah pada I Kadek Dedi Agus Suarsana yang tak lain adalah tetangga korban.
Analisis Nilai Berita                                                                                                                            Objektif : Memang berita kriminal pencurian camera berdasarkan fakta dan benar-benar terjadi.           Aktual : Berita pencurian camera termasuk berita yang aktual dan masih terbaru belum basi.                    Luar Biasa : Termasuk aneh karena di tinggal beberapa menit sudah kehilangan barang berharga.         Penting : Berita kriminal tentang pencurian sangat penting untuk di publikasikan agar masyarakat lebih waspada dan berhati-hati jika ingin meninggalkan rumahnya. Meski hanya meninggalkan untuk sekejap. Jarak : Dekat, karena masih dalam lingkup daerah provinsi Bali

Kamis, 30 Januari 2014

TUGAS JURNALISTIK


 Nama              : Luh Ari Liani
 Nim                 : 10.1.1.1.1.3880        
 Jurusan          : Pendidikan Agama



MASALAH - MASALAH
PKM di SMA Negeri 2 Singaraja

            Jurnalistik berasal dari kata journal yang berarti catatan mengenai kejadian sehari-hari atau bisa disebut dengan catatan harian. PKM merupakan program pelatihan dalam menerapkan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka pembentukan profesionalisme guru Agama Hindu dan Bahasa Bali yang sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa selama PKM atau Pratikum Sekolah di SMA Negeri 2 Singaraja adalah sebagai berikut :
1.      Banyaknya hari libur nasional dan hari raya yang dapat mengurangi proses KBM sehingga kelas yang didapat sangat ketinggalan dengan kelas yang lain.
2.      Sarana dan Prasarana yang ada di kelas rusak seperti LCD, sehingga ketika melakukan proses KBM menggunakan powerpoint tidak bisa berjalan sesuai dengan harapan.
3.      Sradha atau keyakinan siswa terhadap ajaran Agama sangat kurang, ketika melakukan sembahyang (Puja Trisandhya) siswa itu tidak melakukan sembahyang kecuali ditunggu oleh guru baru mau melakukannya.
4.      Tata Krama, disiplin dan sopan santun siswa masih kurang. Ketika upacara bendera dan pembina menyampaikan suatu amanat, masih ada beberapa siswa yang ikut juga berbicara dan bercanda.
5.      Kesadaran siswa untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekolah masih kurang. Ini dipicu karena siswa membawa makanan ke kelas padahal itu sudah ada aturannya bahwa dilarang membawa makanan/minuman kedalam kelas.
6.      Kegiatan pembersihan yang dilakukan setiap hari sabtu menjelang pulang belum berjalan efektif karena siswa sebagian besar tidak melakukan pembersihan.
Rutinitas senam yang dilakukan setiap hari jumat sebelum jam pelajaran dimulai belum maksimal, terutama anak-anak kelas XII banyak yang malas untuk mengikuti senam dan barisan yang dibelakang masih ada yang duduk-duduk ketika senam berlangsung. Sehingga penerapan kegiatan senam ini belum optimal.

Senin, 27 Januari 2014

KONSEP PENYATUAN SIVASIDDHANTA TERHADAP PELINGGIH SANGGAH DADIA KINDITAN PASEK KAYU SELEM DI DESA BENGKALA KECAMATAN KUBUTAMBAHAN


PENGERTIAN SANGGAH/ MERAJAN

Menurut Bhagawan Dwija (2008), istilah “sanggah” berasal dari Bahasa Kawi “Sanggar” yang berarti tempat untuk melakukan kegiatan pemujaan suci (Istilah “sanggar” di Bali maupun didaerah lain, sering dipakai untuk nama sebuah tempat atau perkumpulan, group, sekaa yang melakukan kegiatan seni). Istilah “pamrajan” berasal dari Bahasa Kawi “praja” yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.
Dengan demikian, Sanggah merupakan sebuah tempat suci atau tempat pemujaan yang terdiri dari beberapa palinggih. Sanggah juga dapat diartikan penyangga, penampung, pelindung, penuntun ke arah ke Tuhanan. Setelah keluarga makin berkembang dan bertambah banyak, maka berkembang pula Sanggah atau mrajan menjadi pura keluarga yang lebih besar. Nama-namanya pun mulai beragam, ada yang menyebut Pura Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu-Paibon, Sanggah Gede dan lain sebagainya (Winanti, 2009:19).

FUNGSI SANGGAH/ MERAJAN
Sanggah/Merajan dapat digunakan sebagai sarana tempat berjuang untuk meraih kebahagiaan, seperti misalnya mohon berkah, mohon kaselamatan serta mohon didekatkan pada sesama anggota keluarga. Tutur Sasana (1996) menyebutkan, fungsi Merajan bagi umat Hindu adalah :
1.    Sebagai Tempat Pemujaan Roh Leluhur.
Sanggah merupakan tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Atma yang telah mencapai alam kedewataan. Adapun tujuan utama, mengapa roh leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar keturunannya dapat dengan mudah menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh leluhur, menurut sastra agama sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak pernah berbakti kepada roh suci leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya, maka keturunannya akan menemui kesengsaraan.
2.    Untuk Melangsungkan Upacara Perkawinan dan Tuwun tanah.
Selain sebagai tempat menyembah roh leluhur, fungsi merajan adalah untuk memanjatkan doa dalam melangsungkan upacara perkawinan. Upacara perkawinan yang dilangsungkan di merajan, dihadapan palinggih Kamulan adalah upacara “Padengen-dengenan” atau makala-kalaan”. Tujuan upacara ini yakni mohon anugerah agar pengantin atau pasutri sukses mendapat keturunan yang suputra.upacara perkawinan, juga untuk melakukan upacara Tuwun Tanah bagi si bayi untuk pertama kalinya. Upacara ini dilakukan pada waktu si bayi berusia satu oton atau 210 hari. Makna upacara ini adalah untuk memohon kasih sayang dan perlindungan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa atas kehidupan bayi selama di dunia ini.
Selain untuk melangsungkan
3.    Sebagai Pembina Rohani.
Merajan memiliki fungsi sebagai pembina rohani karena ditempat suci itulah sebuah keluarga dapat meraih ketenangan rohani. Tujuan hidup manusia hidup adalah untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin.
4.    Sebagai Tempat Pertemuan antar Keluarga, Penggalangan Persatuan dan Kesatuan Keluarga.
Dalam melakukan upacara keagamaan, lebih-lebih pada saat hari raya masing-masing anggota keluarga memiliki tugas sendiri. Misalnya ibu membuatkan banten, ayah menyiapkan peralatannya, anak-anak menghias merajan dengan wastra, tedung dan sebagainya. Dalam pelaksanaan ini, maka mereka bekerja sama dan melakukan pekerjaannya dengan penuh rasa bhakti. Jika ini selalu dilakukan, maka anggota keluarga sering melakukan komunikasi atau saling “curhat” sehingga dari komunikasi itu tumbuh rasa kasih sayang sehingga dapat menjaga kerukunan keluarga.
5.    Sebagai Piranti Pendidikan dan Disiplin.

     Bagi umat Hindu, fungsi merajan sangat penting bagi pendidikan agama. Fungsi merajan bagi pendidikan agama Hindu, yakni merajan sebagai piranti peningkatan sradha dan bhakti. Dalam agama Hindu sradha merupakan keyakinan yang tumbuh dari dalam diri manusia berdasarkan emosi keagamaan. Dalam pendidikan non formal, merajan bukan hanya menjadi tempat menghubungkan diri dengan Hyang Widhi, tetapi juga sebagai media untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan sesama. Hal itu bisa terjadi karena dalam kegiatan di merajan, manusia selalu bekerja sama dengan sesamanya (Winanti, 2009:24).



SEJARAH KAWITAN PASEK KAYU SELEM

Diceritakan Mpu Kamareka melakukan yoga samadhi di gundukan tanah “nenggel” di Tampurhyang yang diberi nama “Gwa Song”. Tanpa halangan beliau mengheningkan cipta dengan menghadap kearah Timur berhadapan dengan mulut gowa tersebut dan bukan main tekun pelaksanaan yoga beliau. Beliau melakukan samadhi selama setahun tujuh hari mewujudkan Sanghyang Ongkara Martha yang berada di “Padma hredaya”.
Lalu datang Bhatara Brahma dan bersabda “ Engkau Mpu Kamareka terimalah anugrahku kepadamu diantaranya : “ Tatwa Diatmika Pralina”. “ namun waspadalah engkau memegang Sanghyang Ongkara. Jah Tah Mat Wastu, 3 tan pariwastu”. “ menyusup sampai kepemikiranmu. Ada lagi yang merupakan nasehatku kepadamu, dikemudian nanti ada seorang wanita yang sangat cantik datang, maka itulah jodohmu. Dikemudian nanti jika ada keturunanmu yang lahir dari wanita itu berilah dia nama Si Kayu Selem, itulah merupakan pesanku”.
Selanjutnya Hyang Bhatara lenyap dari pandangan Mpu Kamareka dan kembali merapalkan Weda pemujaan dengan pikiran dan sangat gembira bagaikan diruntuhi “ Tirtha Sanjiwani” yang menyusup ke dalam pusat pikirannya. Entah beberapa lama kemudian, kembali Mpu Kamareka mengheningkan cipta, menyiapkan “ pasepan” yang menyala-nyala apinya dengan bau yang sangat harum sampai ke tempat sepi (pramacintya) membuat para widyadara widyadari pada ribut dan para Dewata, Rsigana suram sampai ke angkasa yang kemudian tiba-tiba keluar Sanghyang Pranacintya dari atas langit diiringi hujan kembang. Kemudian terdengar sabda : “ Hai Kamareka, benar-benar engkau Mpu Kulawangsa, tak terbandingkan ketekukan samadhimu. Kini ada pemberianku kepadamu, sisanya “tirtha kamandaka” merupakan air penyucian. Inilah aksaranya dan kini terimalah. Namun jangan disebarluaskan dan jangan salah dalam melaksanakan rahasiakanlah di dalam hatimu. Setelah itu lenyaplah Hyang Bhatara yang dengan secepatnya Mpu Kamareka menghaturkan sembah disertai dengan “pangalpika “ semakin bertambah rasa kegembiraan hatinya Mpu Kamareka bagaikan kesejukan di tengah samudra.
Kini disebutkan para bidadari yakni yang bernama Bidadari Kuning yang diperintahkan oleh Batara Indra turun / datang ke mayapada / dunia ke Tampurhyang yang selaku jodohnya Mpu Kamareka. Setibanya di Gowa Song yang segera dilihat oleh Mpu Kamareka yang segera mengajukan pertanyaan : “ Duhai engkau seorang yang sangat cantik, dari mana asalmu datang ke tempat ini menyusup ke tengah hutan dan siapa namamu, dimana tempat tinggalmu, siapa ayah dan ibumu, tampak bagaikan kebingungan. Kalau boleh aku mengetahuinya, katakanlah kepadaku yang sebenarnya”.
Lalu Bidadari Kuning menjawab : “ Singgih Mpungku hamba bidadari dari Indraloka, kemudian Mpu Kamareka bertanya kembali : “ Apa tujuanmu mendatangi diriku”.
Dijawab oleh Beliau yang baru datang : “ Mohon ampu Mpungku, tiada lain hamba ini bepergian berkeliling Bali amurang-murang lampah memasuki daerah Bali mencari tirtha pawitra, kemudian terlihat oleh hamba adanya bayangan cahaya bercampur dengan asap, itu yang membuat hamba datang ke tempat ini”.
Mpu Kamareka kembali menjawab : “ Singgih engkau yang bagaikan “nadi putri” apa yang menjadi tujuan mencari “tirtha pawitra”.
Bidadari Kuning lalu menjawab : “ Singgih Sang Maha Pengempuan, dahulu hamba ketika berada di Sorga berbincang-bincang dengan watek Gandarwapati, hamba bermaksud dibencanai namun tiada berhasil, karena merupakan tujuan yang ingin dicapai, itu yang membuat hamba pergi dari Sorga “ amurang-murang lampah” (ngutang pajalan) dengan maksud matirtha gamana yang kemudian bertemu dengan Sang Muniwara di tempat ini”.
Mpu Kamareka lalu menjawab : “ Sangat baik jika demikian, jika boleh marilah bersama-samaku di tempat ini menanggung derita”.
Bidadari Kuning menjawab : “ Singgih Mpuku hamba ini dari Sorgaloka diperintahkan oleh Hyang Indra karena hamba tiada mendapatkan yang ingin hamba dapatkan. Itulah sebabnya hamba berkelana ke tempat ini karena hamba teringat kepada Hyang Batara waktu dahulu. Di tempat ini konon jodoh hamba. Itulah sebabnya hamba mendatangi Mpuku ini. Kini hamba bertanya kepada Mpuku, kalau berkenan katakanlah kepada hamba dengan sebenarnya”. Mpu Kamareka terdiam tiada tahu apa yang harus diperbuat dan bingung pikiran Beliau bagaikan diiris dan dikuasai oleh saktinya nafsu keinginan, pada akhirnya Beliau berucap serta “gegetan” (geretenan) : “ Duhai permata hatiku engkau Jungjunganku, tak lain kakak selaku jodohmu, aku juga mengetahui ucapan Hyang Batara dahulu bahwa bidadari jodohku, sehingga penat kakak menunggu adinda”.
Segera menundukkan kepala Bidadari Kuning yang segera dipangku dan dicium bertubi-tubi, karena bagaikan dijatuhi madu pikiran beliau : “ Permata hatiku engkau Jungjunganku, tuluskanlah belas kasihmu kepadaku, segala yang merupakan perintah adinda aku tiada menolak, walau sampai tujuh kali penjelmaan senantiasa kanda mengiringkan engkau yang tak ubahnya stanuh. Selanjutnya Mpu Kamareka menggigit serta mencium yang kemudian menjawab beliau yang tak ubahnya madu mentah dengan mata yang menahan air mata : “ Singgih Mpuku, janganlah “gregetan” siapa yang dihari kemudian apabila kanda mencapai keadaan sentosa hamba mengiringkan sang mamuni. Namun ada permintaan hamba, jika Sang Mahamuni setelah bersuami istri denganku, maka Sang Mpu tiada boleh menolak perintahku, karena demikian kebiasaan di Sorga”.
Mpu Kamareka menjawab : “ Adikku Si cantik jelita, jika demikian permintaan adinda, kanda siap memenuhi janganlah adinda merasa ragu. Lalu Bidadari Kuning dirangkul dan dibawa ke tempat tidur. Sangat banyak jika diceritakan keadaan kedua beliau itu di dalam memadu asmara, di atas tempat tidur, keduanya telah merasakan kenikmatan di atas kasur yang berbau harum hingga sulit dapat dihitung dan rukun kedua beliau itu sebagai suami-istri. Demikian tingkah laku Mpu Kamareka memperistrikan Bidadari.
Entah telah beberapa lama kemudian Bidadari Kuning hamil, setelah berumur tua kandungannya  si bayi bergerak-gerak di dalam perut beliau yang kemudian lahirlah dua orang putra beliau laki-laki dan perempuan yang elok rupawan wajahnya yang membuat bukan main senang ayah dan bundanya. Selanjutnya di upacarakan sesuai dengan upacara seorang manusia, yang laki-laki bernama Ki Kayu Selem dan yang perempuan bernama Ni Kayu Cemeng. Kini disebutkan bahwa keduanya telah berumur dewasa, selanjutnya Ki Kayu Selem berdatang sembah kepada ayahandanya : “ Singgih Jungjunganku ayahanda, kini anakda telah dewasa lalu dimana adanya orang yang selaku pendamping, apabila dapat dibenarkan mohon diberikan petunjuk agar anakda segera mempunyai istri karena keinginan anakda berada di daerah pegunungan”. Jawaban dari Mpu Kamareka : “ Anakku Kayu Ireng, tak ada lain orang yang menjadi istrimu , adalah Ni Kayu Cemeng karena dia adalah jodohmu sejak masih berada di dalam perut, hanya tinggal menunggu hari yang baik”.
Si Bidadari Kuning (ibunya) menjawab : “ Anakda apa yang telah dikatakan oleh ayahandamu janganlah kehilangan akal”. Hatur Ki Kayu Ireng : “ Hamba mengiringkan petunjuk ibunda, namun anakda berharap agar secepatnya dilaksanakan. Beberapa lama kemudian pada “dewasa ayu” lalu dilakukan upacara perkawinannya Ki Kayu Ireng dengan Ni Kayu Cemeng. Yang bukan main kemesraannya di atas tempat tidur, karena sama-sama pandai dalam hal memadu kasih. Demikianlah keterangannya asal mulanya yang disebut Pasek Kayu Selem yang berkembang di Pulau Bali.
Disebutkan kembali Mpu Kamareka yang memberikan pengarahan kepada putranya yakni Ki Kayu Jayamaireng : “ Anakku Kayu Ireng, dengarkanlah kata ayahanda, dikemudian hari nanti jika ada keturunanmu beritahukanlah juga apa yang menjadi kebajikannya serta berguru kepada para keturunannya Batara Mpu Gnijaya yang disebut “sanak pitu” dimana engkau masih saudara “misan” dan “mamindon”. Dahulu ada sabda Batara Abra Sinuhun kepada Ayahanda tiada dibolehkan saling juang dan saling sembah, namun engkau terhadap para keturunanmu, dibolehkan saling sembah terutama saling juwang karena engkau adalah murid beliau dan janganlah menentang. Demikianlah keharusannya hidup sebagai manusia, lagipula jika datang hari kematianmu, janganlah dibakar mayatmu, karena Hyang Batara tiada suka kecemaran “pinggit”, karena sangat dekat dengan Parhyangan Pura Panarajon, Pura tegeh, Ulun Danu dan Batur agar jangan “kelingku biu” oleh asapnya, karena berasal dari orang Bali yang tiada boleh dibakar dan harus ditanam.
Ketika Mpu Kamareka dimana sudah lanjut usia putra beliau Sang Jaya Kayu Ireng yang memperistrikan saudaranya yakni Ni Kayu Ireng yang baru masuk satu keturunan dan Sang Jaya Kayu Ireng pun melakukan upakara “maput gala” seperti ayahandanya karena keturunan Bujangga Bali sesuai dengan pesan Batara dahulu. Dan diganti namanya menjadi Mpu Gnijaya Mahireng. Kemudian beliau Mpu Kamareka menurunkan tiga orang putra laki-laki yang rupawan, masing-masing bernama : Sang Made Celagi, Sang Nyoman Tarunyan, dan Sang Ketut Kayu Selem, yang kemudian hari ketiganya duduk sebagai Bujangga “katapak” oleh ayahandanya. Seusai “maputgala” Sang Kayu Celagi bergelar Mpu Kaywan. Yang bungsu bergelar Mpu Nyoman Tarunyan, dan yang paling Ketut bergelar Mpu Badengan. Adapun Mpu Kaywan pergi meninggalkan Gwasong melakukan yoga di Pura Narajon yang selanjutnya di Balingkang, Mpu Nyoman Tarunyan melakukan yoga dihadapan Gunung Telukbyu yang disebut Belong. Mpu Gnijaya Mahireng bersama dengan Mpu Badengan, masih tetap melakukan yoga di Gwasong bersama ayahandanya. Kemudian hari nanti Gwasong dinamakan Songan.
Putra dari Mpu Jaya Mahireng yang tiga orang laki-laki yang tertua bernama Sang Aruhuru, adiknya bernama Sang Kayu Selem dan Wreksa Ireng dan yang perempuan bernama Ni Kayu Nyelem. Adapun putranya Mpu Panarajon satu orang laki-laki dan empat orang perempuan, namanya masing-masing yang laki-laki bernama Sang Pranarajon sama dengan ayahandanya. Dan keempat orang perempuannya bernama: Ni Nguli, Ni Ayu Ireng, Ni Ayu Kinti, dan Ni Ayu Kaywan. Putra Mpu Tarunyan satu orang laki-laki dan tiga orang perempuan, masing-masing bernama : yang laki-laki bernama Sang Tarunyan sama dengan ayahandanya, katiga anak putrinya bernama : Ni Ayu Dani, Ni Ayu Trunyan dan Ni Ayu Taruni. Adapun putra Mpu Badengan, dua orang laki-laki masing-masing bernama : Ki Kayu Celagi dan Ki Kayu Taruna. Sebanyak itulah para putranya yang disebut “Catur sanak” yang baru dua turunan yang masih termasuk saudara “Misan”. Sang Taruhulu memperistrikan adiknya yang bernama Ni Kayu Ireng yakni putra dari Mpu Pranarajon. Adapun yang bernama Sang Wreksa Ireng memperistrikan dua orang saudara misannya yang dimadu dengan saudaranya yang bernama Ni Ayu Nguli dan Ni Ayu Kinti putra dari Mpu Pranarajon.
Adapun yang bernama Sang Kayu Selem memperistrikan yang bernama Ni Ayu Tarunyan putra dari Mpu Tarunyan, dan putra Mpu Kaywan yang berkedudukan di Panarajon yang bernama Sang Pranarajon lalu memperistrikan Ni Ayu Taruni putranya Mpu Tarunyan. Sang Tarunyan putranya Mpu Tarunyan memperistrikan putranya Mpu Jaya Ireng yang bernama Ni Ayu Kayu Nyelem. Putra Mpu Badengan yang bernama Ki Kayu Celagi memperistrikan Ni Ayu Dani putra Mpu Tarunyan. Adapun beliau yang bernama Sang Taruna memperistrikan Ni Ayu Kaywan putranya Mpu Pranarajon. Begitulah keadaannya yang “saling juang kejuang antara saudara misan”. Kini disebutkan yang merupakan “cudamani” yakni beliau Mpu Kamareka telah banyak mempunyai keturunan dan beliau semakin tua dan pada suatu hari semua putra-putranya dikumpulkan bermaksud untuk memberikan wejangan menjelang kembali ke alam-sepi dan inilah ucapan beliau : “Anakku dan para cucuku kesemuanya, dengarkanlah kata-kataku, karena wayahmu segera meninggalkan kalian kembali ke alam-sepi, karena telah cukup umur ayahanda di dunia ini. Pada datangnya hari bulan Purnama sasih Kartika dan setelah selesai upacaranya, kalian semuanya agar mendirikan kahyangan untuk mendudukan Sang Hyang Tripurusa, terutamanya Sanghyang Suci nirmala. Dan untukku buatkanlah bebaturan, jika telah usai mendirikan Parhyangan dan Bebaturan, inilah penjelasannya Sang Hyang Dwipala dan stananya Batara Hyang suci yang bergelar Sanghyang Taya. Adapun yang disebut Sanghyang Tripurusa, adalah Batara Brahma, Batara Wisnu dan Batara Iswara. Dan tentang stananya Ibu Pertiwi pada saat bertemu dengan Sanghyang Akasa, itulah yang dinamakan “paibon”. Tetapi aku yang lebih duluan dibuatkan Bebaturan dimana hal itu disebut memuja roh (amuja-pitra). Demikianlah jangan dilupakan dan jika telah selesai mengupacarakan Kahyangan, jangan sampai dilupakan melakukan upacara yadnya beserta semua bentuk upacaranya serta “sungsung” bersama para keturunanmu sampai kemudian hari nanti maka kalian akan mendapatkan keselamatan. Katakanlah kepada keturunanmu dimanapun mereka berada agar menghaturkan “wali” pada hari bulan mati sasih Kedasa, jangan tiada menempati waktunya. Jika ada keturunanmu yang tiada melaksanakan apa yang telah menjadi kebajikannya, mereka itu bukan keturunanmu mereka disebut “ngutang sesana”. Mudah-mudahan mereka mendapatkan kutukan dariku, agar banyak pekerjaan kekurangan pangan, kemanapun mereka pergi tiada mendapat keselamatan.
Adalagi yang perlu kalian ketahui, dikemudian hari nanti jika ada pohon kayu yang tumbuh di dalam Kahyangan yang hitam warna pohonnya, itu merupakan tanda dariku yang telah berperwujudan “sekala-niskala” yang telah berkedudukan disana, berperwujudan Sanghyang Jagatkarana kalau telah ada pohon kayu hitam yang tumbuh dalam pura dinamakan Pura Kayu Selem. Dan seperti di Gwasong, jika ada pohon beringin tumbuh, itu merupakan tanda-tandaku bahwa di tempat itu menyikan dahulu, dari tempat itu wayahmu mendapatkan ke “sidian” yang sempurna untuk para keturunanku dan mudah-mudahan kalian tiada kekurangan pangan dan selalu menemukan kesejahteraan. Inilah tata cara untuk menghaturkan “widi wedana” antara lain : suci asoroh serba hitam, itik hitam “jambul mulus” disertai dengan “guru piduka” dipersembahkan kepada Batara Wisnu disertai dengan pemujaannya. Beberapa hari kemudian tiba hari bulan Purnama sasih Kartika pada saat itu Mpu Kamareka kembali ke alam sepi. Akhirnya Mpu Jaya Mahireng dengan diiringkan oleh para putra, cucu dan oleh para murid beliau lalu mendirikan Kahyangan antara lain : sanggar agung yang merupakan stananya Hyang Suci yang bergelar Sanghyang Taya dan Gedong Tripurusa tiga tingkat / bertingkat tiga yang merupakan stananya Sanghyang Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa, dimana ketiga beliau itu yang disebut Sanghyang Tigayadnya. Ada lagi gedong bertingkat 2 merupakan stananya Hyang Brahma dan Hyang Wisnu. Adalagi kemulan rong tiga, stananya beliau Sanghyang Tripurusa : Brahma, Wisnu, Iswara, pada saat beliau mengadakan pertemuan. Ada lagi “Bebaturan” rong dua stananya Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Pretiwi dan itulah yang dianggap si ayah dan si ibu itu yang mengeluarkan “amreta siwamba” disebut pula Dwipala.
Ditengah-tengah disebut “pesamuan agung” dan membuat stananya leluhur/ kawitan diluar tempat “bebaturan rong dua” laki-laki dan perempuan tempat itu disebut tempat menghadap para Hyang, menurut pesan beliau yang telah mencapai moksa. Ditambah lagi “bebaturan” rong tiga yang merupakan stananya Sanghyang Tigasakti lengkap dengan “sedahan taksu”. Dan setelah selesai pembangunan pura kemudian ada tumbuh kayu / pohon hitam yang merupakan tanda seperti pesan beliau yang telah “moksah” itulah yang menyebabkan pura itu diberi nama Pura Kayu Selem sampai sekarang, ceritanya kayu tersebut dinamakan “celagi ireng” dan setelah selesai pembangunan pura, lalu dilakukan upacara masasapuh dan melaspas disertai ngenteg linggih. Setelah itu kembali Mpu Jaya Ireng bersama keluarganya membangun Kahyangan yang diberi nama Pura Jati yang merupakan tanda (cihna) benar-benar terjadi bangunannya beliau yang “kasungsung” oleh seluruh orang Bali. Dikemudian hari nanti jika ada seseorang melakukan upacara dengan memohon tirta kamandalu dan para keturunanku yang memahami aji purana memuja mempersembahkan “widhiwedana” dengan memuja Batari Gangga. Demikian pelaksanaannya lebih dahulu yang menyebabkan dinamakan Pura Jati merupakan tanda (cihna) benar-benar menghaturkan pejati. Setibanya hari bulan mati sasih Kedasa lalu menghaturkan piodalan setiap satu tahun.
Wejangan-wejangan beliau kepada para keturunannya antara lain : seperti pesan “kawitan” dahulu agar jangan pada melupakan terhadap apa yang menjadi kebajikan di dalam mengupacarakan dan membuat baik keadaan Kahyangan, bakti terhadap “kawitan”. Dikemudian nanti jika masing-masing telah berjauhan tempat tinggal, agar sama-sama pada mengingat merupakan kewajiban sampai hari nanti. Jika kalian melupakan tiada memahami mekawitan maka engkau kena kutukannya Sanghyang Tri Purusa terutama terkena kemurkaannya beliau yang telah mencapai kamoksan.



SEJARAH SANGGAH DADIA KINDITAN PASEK KAYU SELEM
Untuk sejarah berdirinya Sanggah Dadia Kinditan Pasek Kayu Selem karena keterbatasan informasi, maka penulis tidak dapat menjelaskan secara mendetail. Sanggah Dadia Kinditan ini hanya yang penulis ketahui di renovasi atau ada perbaikan ulang yang kedua itu tanggal 14 November 1985. Dan tentang pelinggih-pelinggihnya juga sedikit pemangku mengetahui penjelasan maupun fungsinya.


PELINGGIH - PELINGGIH YANG ADA DI SANGGAH DADIA KINDITAN

PASEK KAYU SELEM
Jenis palinggih di sanggah/merajan dapat dibagi dua yaitu palinggih inti dan palinggih pelengkap. Palinggih inti yaitu Kemulan, sedangkan palinggih pelengkap adalah palinggih Taksu, Ngerurah, dan ada beberapa palinggih pesimpangan pemujaan atau penyawangan dewa-dewa di Pura Kahyangan Jagat Bali. Jenis dan bentuk pelinggih itu adalah sebagai berikut (Winanti, 2009:39).


1.    PELINGGIH KEMULAN RONG TIGA


Pelinggih Kemulan Rong Tiga merupakan pelinggih yang paling inti dalam Sanggah atau Merajan. Dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga sesungguhnya yang disembah atau disungsung adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murthi/ Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan.
Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) ada beberapa isi lontar yang sejalan dengan penjelasan diatas adalah :
1.    Lontar Usana Dewa :
Pada sanggah Kemulan yang berstana adalah Sang Hyang Atma. Kemulan rong kanan adalah Para-atma yaitu bapak. Di Kemulan rong kiri adalah Siwa-atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.
2.    Lontar Gong Besi
Pada Kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa atma. Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang Tunggal, mempersatukan wujud.
3.    Lontal Purwa Bumi Kemulan
Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah atman sebagai Batara Hyang Guru atau Guru Rupaka.
4.    Lontar Siwa Gama Kemulan
Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “Kramanta Sang Pitara muliheng batur Kamulannya nguni”.
Jadi Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru (maksudnya Guru Rupaka). Roh-roh suci atau Dewa Hyang atau Batara Batari keluarga itu sendirilah yang distanakan di Kemulan rong tiga dan rong kalih yang disembah oleh keturunan mereka. Yang disembah bukan Tri Murti atau Tri Purusa lagi, karena semua itu sudah menjadi jiwatman yang berasal dari Guru Rupaka. Bukan Batara Guru, tetapi Guru Rupaka keluarga itu (Suhardana, 2011:61).
Pada pelinggih Kemulan kita memohon perlindungan dan keselamatan apabila kita akan bepergian jauh. Pada pelinggih Kemulan Rong Tiga dapat dihubungkan dengan ajaran “Tri Rnam”,agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi yakni tiga hutang manusia yang harus dibayar, yaitu :
1.    Hutang kehadapan Sang Hyang Widhi dan semua manifestasinya.
2.    Hutang kehadapan Maha Rsi
3.    Hutang kehadapan Leluhur
Timbul suatu pertanyaan mengapa kita menyembah roh leluhur yang telah suci? Kita melakukan hal itu, karena tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah bersatu dengan yang maha suci. Dewa Pitara yang distanakan di Kemulan itu, oleh karena telah mencapai kedewaan atau alamnya Sanghyang Tri Murti, maka Dewa Pitara itu diidentikkan dengan Sanghyang Tri Murti. Akan tetapi palinggih ini bukan pelinggih Tri Murti. Pengidentikkan ini bisa diterima karena Hindu mempercayai adanya moksa yaitu luluh bersatunya Pitara/Atma dengan Dewa atau Tuhan.
Oleh karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti, Dewa Pitara yang berstana di Kamulan juga disebut Bhatara Hyang Guru. Bhatara Hyang Guru di sini adalah Dewa Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pendidik umat manusia (Winanti, 2009:32).
Konsep penyatuan sivasiddhanta dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah adanya Sekta Siwa, Brahma dan Wisnu karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti. Bhatara Guru dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pendidik umat manusia.


2.    PELINGGIH TAKSU


Kata “Taksu” adalah kata bahasa Bali (bukan Sanskerta atau Jawa Kuno atau Kawi) yang berarti kekuatan bathin atau kekuatan spiritual. Kekuatan di dalam diri yang memancarkan pesona, daya pukau, wibawa dan sekaligus karisma (Suhardana, 2011:157).
Palinggih Taksu adalah palinggih dari Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan bhiseka Hyang Taksu yang memiliki fungsi memberikan kekuatan spiritual atau daya magic yang menyebabkan keberhasilan semua pekerjaan dan memelihara semangat dan gairah hidup yang penuh dengan godaan (Winanti, 2009:31). Adapun bentuk Palinggih Taksu dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu :
1.    Taksu Tenggeng
Taksu ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah disebut Bataran, diatas bataran menggunakan sebuah tiang yang menyangga semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Dengan demikian, Taksu Tenggeng adalah palinggih yang bagian bawahnya merupakan bataran, di tengahnya sebuah tiang dan bagian atasnya sebuah ruangan yang beratap.
2.    Taksu Nyangkil
Bentuknya hampir sama dengan Taksu Tenggeng. Hanya saja ruangannya terdiri dari dua ruangan (rong). Bagian bawah disebut bataran, bagian tengah disebut tiang (saka) bagian atas dua buah rong yang menyangga atap.
3.    Taksu Agung
Bentuk bangunan Taksu Agung terdiri dari bataran di bagian bawah, di bagian tengah adalah badan bangunan, di atasnya merupakan sebuah ruangan disangga oleh sepasang Saka Anda ditutupi oleh atap bangunan. Penggunaan masing-masing palinggih Taksu ini tergantung dari latar belakang sejarah dari keluarga yang memiliki merajan tersebut. Meskipun berbeda-beda bentuknya, fungsi Taksu ini adalah sama.
Busana untuk Palinggih Taksu adalah Putih Poleng.
Untuk upakara atau banten yang dipersembahkan untuk Pelinggih Taksu adalah Ajuman (1) dan Canang Sari (1).
Dalam konsep penyatuan sivasiddhanta adalah ada kemiripan fungsi pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim Tuhan (Sakti/kekuatan) (Gunawan, 2012:21).


3.    PELINGGIH MERU BHATARA KAWITAN


Bangunan pelinggih Meru tersebut dibedah dari mitologinya, bahwa Meru adalah salah satu nama gunung di sorga loka. Salah satu puncaknya disebut kailasa sebagai tempat tinggalnya Dewa Siva. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, gunung Mahameru di Jawa dan gunung Agung di Bali. Untuk keperluan pemujaan, maka dibuatlah reflika gunung tersebut dengan bangunan Meru (Sandika, 2011:92).
Selanjutnya bertalian dengan Meru ini, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu membedakannya dalam 6 jenis yaitu :

1.    Meru Tumpang Satu
2.    Meru Tumpang Dua
3.    Meru Tumpang Tiga
4.    Meru Tumpang Lima
5.    Meru Tumpang Tujuh
6.    Meru Tumpang Sebelas
Dapat ditambahkan pula bahwa pedagingan untuk Meru Tumpang Satu sampai dengan Tumpang Tiga harus diberi pedagingan pada dasar dan puncaknya saja, sedangkan untuk Meru Tumpang Lima sampai dengan Tumpang Sebelas harus diberi tiga pedagingan yaitu pada dasar, tengah dan puncak Meru. Meru atapnya bertingkat-tingkat dan jumlah tingkatnya kecuali yang bertingkat dua, selalu ganjil seperti tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas dan semakin keatas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil menunjukkan kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang ganjil tidak akan melahirkan apa-apa lagi.
Bilangan ganjil itu bernilai tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh bilangan ganjil, Sanghyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa trisakti (3). Unsur kehidupan adalah Panca Mahabhuta (5) sedangkan lapisan bumi dan angkasa masing-masing 7 (sapta patala dan langit ke tujuh). Arah angin arahnya sembilan (9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, yaitu sakti dan bernilai tinggi.
Kemudian mengenai jumlah tingkatnya dapat dijelaskan demikian. Semakin banyak tingkat Meru biasanya menunjukkan semakin agung Bhatara-Bhatari yang distanakan di Meru itu. Arwah suci para Raja biasanya distanakan dalam Meru dengan tingkat sebelas, sedangkan arwah suci orang kedua dalam suatu kerajaan, misalnya Patih Agung, distanakan dalam Meru bertingkat sembilan. Demikianlah semakin rendah jabatannya, maka arwah sucinya distanakan pada Meru dengan tingkatan yang lebih rendah pula (Suhardana,2006:119). Meru tumpang satu, tiga dan lima adalah pelinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga (Winanti,2009:44).
Konsep Penyatuan Sivasiddhanta dalam Pelinggih Meru yaitu adanya sekte Siwa, dimana dalam Mithologi Meru dijelaskan bahwa Pelinggih Meru sebenarnya nama sebuah gunung di Sorgaloka yang puncaknya bernama Kailasa yang katanya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa.
Upakara atau Banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Meru adalah Banten Suci (1), Banten Peras (1), Banten Penyeneng (1), Canang Raka (1) dan Canang Sari (1).


4.    PELINGGIH RAMBUT SEDANA
Merupakan pelinggih Dewi Sri dengan bhiseka Sri Sedana atau Limascatu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia (Winanti, 2009:42). Pelinggih Rambut Sedana piodalannya pada saat Buda Wage Kelawu.
Dalam pelinggih Rambut Sedana terdapat konsep penyatuan Sekta Waisnawa dimana dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran.
Upakara atau Banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Rambut Sedana adalah Suci, Ajuman, Peras, Penyeneng, dan Sodan putih kuning.

5.    PELINGGIH MENJANGAN SELUANG/SAKALUANG
                                       Menjangan Seluang yang bentuknya panjang ini terdiri dari tiga ruang (rong) yang cukup besar. Rong pertama dan kedua hampir sama lebarnya kira-kira 75cm. Dalam rong yang besar yang ditengah, berisi kepala menjangan lengkap dengan tanduknya. Bentuk Menjangan Seluang rupanya memang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya tiga kelompok besar masyarakat zaman dulu, dimana salah satu diantaranya yakni kelompok Bali Aga terdiri dari enam Sekta Agama.
Riwayat singkatnya adalah demikian. Ketika pada tahun 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali (diminta bantuannya oleh Raja Bali Udayana Warmadewa), beliau melihat demikian banyaknya sekta Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan tiga kelompok besar dengan enam Sekta Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (Samuan Tiga). Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat Bali ketika, yaitu :
1.1              Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
1.2              Unsur masyarakat yang beragama Budha Mahayana (Mpu Kuturan dan para    pengikutnya).
1.3              Unsur masyarakat Bali Aga mewakili 6 Sekta Agama :
1.3.1        Sambu
1.3.2        Brahma
1.3.3        Indra
1.3.4        Wisnu
1.3.5        Bayu
1.3.6        Kala
Disepakati dalam Pesamuhan Agung itu bahwa ketiga kelompok masyarakat Bali mempersatukan dirinya ke dalam satu paham yang dinamakan Tri Murthi, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), sebagai Pemelihara (Wisnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat Hindu di Bali, maka didirikanlah Pelinggih Menjangan Seluang atau Sakaluang. Menjangan Seluang atau Sakaluang karena itu manifestasi dari penyatuan berbagai Sekta Agama, menjadi satu paham yaitu Tri Murthi atau Agama Hindu (Brahma-Wisnu-Siwa).
Pelinggih Menjangan Seluang atau Sakaluang dipandang sebagai penyatuan pikiran, pendapat, pandangan atau keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan, serta kerukunan rumah tangga atau keluarga (Suhardana, 2011:83).
Hal ini Mpu Kuturan sudah menyatukan Sekta-Sekta yang ada di Bali, karena berkat jasa Beliau dan selalu mengenangnya maka didirikanlah Pelinggih Menjangan Seluang/Sakaluang.
Upakara atau banten yang dipersembahkan untuk Pelinggih Menjangan Seluang/Sakaluang adalah Ajuman (1), Peras (1), Penyeneng (1), dan Canang Sari (1).

6.    PELINGGIH MEPRUCUT


Pelinggih Gedong Maprucut adalah persinggahan Bhatara yang ada di Pura Rambut Siwi (Mider Adnyana,2012:170). Menurut Winanti, dalam bukunya Pura Keluarga dan Pratima (2009:43) menjelaskan bahwa Gedong Maprucut adalah pelinggih Danghyang Nirartha dengan bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna agama Hindu di Bali pada abad ke-15.








7.    PELINGGIH SURYA
    Pelinggih Surya, sebuah pelinggih untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya upacara yadnya. Dalam Lontar Siwagama, gelar Surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya atas anugerah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau. Hyang Surya diberikan anugerah juga sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala kegelapan. Dari uraian ini tampak jelas adanya pengaruh sekta Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya.
Busana pada pelinggih Surya adalah kain putih kuning.


8.    PELINGGIH KEMULAN RONG DUA
Secara purwa loka atau kuna dresta pelinggih Kemulan Rong Kalih sebagai pengganti Rong Tiga. Maksudnya sama, yaitu untuk memuja Dewa Hyang atau Dewa Pitara Leluhur, Hyang Kompyang. Pada pelinggih ini dipercaya akan lebih mendekatkan dirinya dengan para leluhur yang terdiri atas Bapak (leluhur laki-laki) dan Ibu (leluhur wanita). Karena kedua beliau itulah yang amat berjasa secara nyata (sekala) dalam melahirkan dan memelihara kehidupannya sebagai manusia di dunia nyata. Pada pelinggih Rong Kalih Bapak pada Rong Kanan dan Ibu pada Rong Kiri (Suhardana, 2011:45). Ada sedikit perbedaan antara fungsi Kemulan Rong Dua dengan Rong Tiga, dimana Kemulan Rong Dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas Dewata, belum diaben. Sedangkan Rong Tiga adalah tempat memuja roh leluhur yang telah mencapai kualitas Dewata, telah disucikan dengan upacara Ngaben dan posisinya secara niskala beliau sudah setara dengan Bhatara Guru (Gunawan, 2012:22). Upakara atau banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Rong Kalih yaitu banten Sodaan serta lengkap dengan Pesalinan atau Rerantasan putih kuning.

9.    PELINGGIH PIASAN

Pelinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Dan sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman. Pralingga-pralingga dihias ketika dilinggihkan di sini (Winanti, 2009:45). Piasan berasal dari kata pehiasan yang artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini tidak mesti harus dibuat, boleh juga tidak, tergantung dari luas pekarangan pemerajan (Suhardana, 1998:66).

10.             PELINGGIH PENGAPIT LAWANG

Pelinggih Pengapit Lawang dua buah pelinggih kiri kanan yang terletak di depan pemedal agung yang merupakan stana Bhatara Kalla dengan bhiseka jaga-jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.
Busana dari pelinggih pengapit lawang adalah busana putih poleng. Upakara yang dipersembahkan adalah Canang Raka dan Canang Sari

11.             PELINGGIH PESAMUAN
Menurut pandangan penulis dilihat dari katanya Pesamuan dimana sama artinya dengan pertemuan. Maka dari itu Pelinggih ini merupakan stana Bhatara-Bhatari untuk mengadakan pertemuan antar para Dewa jika ada piodalan yang besar maupun yang kecil.
Upakara yang dipersembahkan yaitu Suci, Pula Gembal, Perangkatan, Tumpeng Guru Putih Kuning, Linggih, bayuan, air, dan Dupa.





12.    PELINGGIH AKASA
Pelinggih Akasa merupakan lambang dari Purusha. Di dalam kepercayaan Hindu Akasa disamakan dengan langit atau ether. Sehingga pelinggih ini percayai sebagai Ayah (laki-laki) yang dapat menurunkan trah dalam sanggah kami.










13.    PELINGGIH DEWI DANUH

Pelinggih Dewi Danuh adalah penyawangan dan berkedudukan di Pura Ulun Danu. Pelinggih ini adalah lambang dari Pradana, Dewi dalam kepercayaan Hindu merupakan perlambang wanita ini dikarenakan bentuk Danuh mirip seperti Yoni. Dalam kepercayaan Siwaistik pelinggih ini dipercayai sebagai Ibu (wanita) yang dapat melahirkan terah Pasek dalam Sanggah kami.





Mantra di Pemerajan Kamimitan (Rong Tiga)
Paibon, Panti, Dadia/ Padarman biasanya yang di gunakan adalah :
OM BRAHMĀ WISNU ĪҪWARADEWAM,
JĪWĀTMANAM TRILOKANAM,
SARWA JAGAT PRATISTHANAM,
ҪUDDHA KLEҪA WINĀҪANAM,
OM, GURU PĀDUKA DIPĀTA YA NAMAH.

Namun ada Mantra Pengastawa dari beberapa pelinggih (Sudarsana, 1998: 83) adalah :

Mantra di Kemulan Rong Tiga
Ong dewa-dewa Tri dewanam
Tri Murti Tri Linggadmanem
Brahma Wisnu maheswaram
Sarwa jagat jiwatmanam
Ong Guru Rupam Sadadnyanem
Guru Pantaranam dewam
Guru nama japet sada
Nasti-nasti dine-dine
Ong Gung Guru
Bionamah suaha

Mantra Palinggih Taksu
Ong, Ang, Ang, Ang Sang Kala Raja
Bionamah swaha
Ong Kling, Kling Kling Sang Butha
Raja bionamah Swaha

Mantra Palinggih Menjangan Sakaluang
Ong Hyang, Hyang jeng Sang Hyang
Panca Rsi maha sidhi
Yenamah swaha
Mantra Kamulan Rong Dua
Ong Ang Brahma atma yenamah
Ong Ung Wisnu antaratma yenamah
Ong Mang Sri Prajapati
Yenamah swaha

Daftar Pustaka

Anandakusuma, Sri Reshi. 2006. Aum Upacara Dewa Yadnya. Denpasar: CV. Kayumas      Agung.
Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar : PT. Offset BP.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta II. Denpasar : IHDN.
Sandika, I Ketut. 2011. Pratima Bukan Berhala, Pemujaan Tuhan Melalui Simbol-simbol Suci Hindu. Surabaya : Paramita.
Sudarsana, Ida Bagus Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu, Manifestasi Sang Hyang Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya.
Suhardana, K.M. 2006. Dasar - Dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita.
Suhardana, K.M. 2011. Menjangan Sakaluang. Surabaya : Paramita.
Winanti, Ni Putu.2009. Pura Keluarga dan Pratima. Denpasar : Pustaka Bali Post.