PENGERTIAN SANGGAH/ MERAJAN
Menurut Bhagawan Dwija
(2008), istilah “sanggah” berasal dari Bahasa Kawi “Sanggar” yang berarti
tempat untuk melakukan kegiatan pemujaan suci (Istilah “sanggar” di Bali maupun
didaerah lain, sering dipakai untuk nama sebuah tempat atau perkumpulan, group,
sekaa yang melakukan kegiatan seni). Istilah “pamrajan” berasal dari Bahasa
Kawi “praja” yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah
Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan
atau keluarga. Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa palinggih utama yang ada
di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.
Dengan demikian,
Sanggah merupakan sebuah tempat suci atau tempat pemujaan yang terdiri dari
beberapa palinggih. Sanggah juga dapat diartikan penyangga, penampung,
pelindung, penuntun ke arah ke Tuhanan. Setelah keluarga makin berkembang dan
bertambah banyak, maka berkembang pula Sanggah atau mrajan menjadi pura
keluarga yang lebih besar. Nama-namanya pun mulai beragam, ada yang menyebut
Pura Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu-Paibon, Sanggah Gede dan lain
sebagainya (Winanti, 2009:19).
FUNGSI
SANGGAH/ MERAJAN
Sanggah/Merajan dapat
digunakan sebagai sarana tempat berjuang untuk meraih kebahagiaan, seperti misalnya mohon berkah, mohon kaselamatan
serta mohon didekatkan pada sesama anggota keluarga. Tutur Sasana (1996)
menyebutkan, fungsi Merajan bagi umat Hindu adalah :
1. Sebagai
Tempat Pemujaan Roh Leluhur.
Sanggah merupakan tempat pemujaan
terhadap Sang Hyang Atma yang telah mencapai alam kedewataan. Adapun tujuan
utama, mengapa roh leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar keturunannya
dapat dengan mudah menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh leluhur,
menurut sastra agama sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak pernah
berbakti kepada roh suci leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya, maka
keturunannya akan menemui kesengsaraan.
2. Untuk
Melangsungkan Upacara Perkawinan dan Tuwun tanah.
Selain sebagai tempat menyembah roh
leluhur, fungsi merajan adalah untuk memanjatkan doa dalam melangsungkan
upacara perkawinan. Upacara perkawinan yang dilangsungkan di merajan, dihadapan
palinggih Kamulan adalah upacara “Padengen-dengenan” atau makala-kalaan”.
Tujuan upacara ini yakni mohon anugerah agar pengantin atau pasutri sukses
mendapat keturunan yang suputra.upacara perkawinan, juga untuk melakukan
upacara Tuwun Tanah bagi si bayi untuk pertama kalinya. Upacara ini dilakukan
pada waktu si bayi berusia satu oton atau 210 hari. Makna upacara ini adalah
untuk memohon kasih sayang dan perlindungan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa atas
kehidupan bayi selama di dunia ini.
Selain untuk melangsungkan
3. Sebagai
Pembina Rohani.
Merajan memiliki fungsi sebagai
pembina rohani karena ditempat suci itulah sebuah keluarga dapat meraih
ketenangan rohani. Tujuan hidup manusia hidup adalah untuk meraih kesejahteraan
lahir dan batin.
4. Sebagai
Tempat Pertemuan antar Keluarga, Penggalangan Persatuan dan Kesatuan Keluarga.
Dalam melakukan upacara keagamaan,
lebih-lebih pada saat hari raya masing-masing anggota keluarga memiliki tugas
sendiri. Misalnya ibu membuatkan banten, ayah menyiapkan peralatannya,
anak-anak menghias merajan dengan wastra, tedung dan sebagainya. Dalam pelaksanaan
ini, maka mereka bekerja sama dan melakukan pekerjaannya dengan penuh rasa
bhakti. Jika ini selalu dilakukan, maka anggota keluarga sering melakukan
komunikasi atau saling “curhat” sehingga dari komunikasi itu tumbuh rasa kasih
sayang sehingga dapat menjaga kerukunan keluarga.
5. Sebagai
Piranti Pendidikan dan Disiplin.
Bagi umat Hindu, fungsi merajan sangat penting
bagi pendidikan agama. Fungsi merajan bagi pendidikan agama Hindu, yakni
merajan sebagai piranti peningkatan sradha dan bhakti. Dalam agama Hindu sradha
merupakan keyakinan yang tumbuh dari dalam diri manusia berdasarkan emosi
keagamaan. Dalam pendidikan non formal, merajan bukan hanya menjadi tempat
menghubungkan diri dengan Hyang Widhi, tetapi juga sebagai media untuk menjaga
hubungan harmonis antara manusia dengan sesama. Hal itu bisa terjadi karena
dalam kegiatan di merajan, manusia selalu bekerja sama dengan sesamanya
(Winanti, 2009:24).
SEJARAH KAWITAN PASEK KAYU SELEM
Diceritakan Mpu
Kamareka melakukan yoga samadhi di gundukan tanah “nenggel” di Tampurhyang yang
diberi nama “Gwa Song”. Tanpa halangan beliau mengheningkan cipta dengan
menghadap kearah Timur berhadapan dengan mulut gowa tersebut dan bukan main
tekun pelaksanaan yoga beliau. Beliau melakukan samadhi selama setahun tujuh
hari mewujudkan Sanghyang Ongkara Martha yang berada di “Padma hredaya”.
Lalu datang Bhatara Brahma dan bersabda
“ Engkau Mpu Kamareka terimalah anugrahku kepadamu diantaranya : “ Tatwa
Diatmika Pralina”. “ namun waspadalah engkau memegang Sanghyang Ongkara. Jah
Tah Mat Wastu, 3 tan pariwastu”. “ menyusup sampai kepemikiranmu. Ada lagi yang
merupakan nasehatku kepadamu, dikemudian nanti ada seorang wanita yang sangat
cantik datang, maka itulah jodohmu. Dikemudian nanti jika ada keturunanmu yang
lahir dari wanita itu berilah dia nama Si Kayu Selem, itulah merupakan
pesanku”.
Selanjutnya Hyang
Bhatara lenyap dari pandangan Mpu Kamareka dan kembali merapalkan Weda pemujaan
dengan pikiran dan sangat gembira bagaikan diruntuhi “ Tirtha Sanjiwani” yang
menyusup ke dalam pusat pikirannya. Entah beberapa lama kemudian, kembali Mpu
Kamareka mengheningkan cipta, menyiapkan “ pasepan” yang menyala-nyala apinya
dengan bau yang sangat harum sampai ke tempat sepi (pramacintya) membuat para
widyadara widyadari pada ribut dan para Dewata, Rsigana suram sampai ke angkasa
yang kemudian tiba-tiba keluar Sanghyang Pranacintya dari atas langit diiringi
hujan kembang. Kemudian terdengar sabda : “ Hai Kamareka, benar-benar engkau
Mpu Kulawangsa, tak terbandingkan ketekukan samadhimu. Kini ada pemberianku
kepadamu, sisanya “tirtha kamandaka” merupakan air penyucian. Inilah aksaranya
dan kini terimalah. Namun jangan disebarluaskan dan jangan salah dalam
melaksanakan rahasiakanlah di dalam hatimu. Setelah itu lenyaplah Hyang Bhatara
yang dengan secepatnya Mpu Kamareka menghaturkan sembah disertai dengan
“pangalpika “ semakin bertambah rasa kegembiraan hatinya Mpu Kamareka bagaikan
kesejukan di tengah samudra.
Kini disebutkan para
bidadari yakni yang bernama Bidadari Kuning yang diperintahkan oleh Batara
Indra turun / datang ke mayapada / dunia ke Tampurhyang yang selaku jodohnya
Mpu Kamareka. Setibanya di Gowa Song yang segera dilihat oleh Mpu Kamareka yang
segera mengajukan pertanyaan : “ Duhai engkau seorang yang sangat cantik, dari
mana asalmu datang ke tempat ini menyusup ke tengah hutan dan siapa namamu,
dimana tempat tinggalmu, siapa ayah dan ibumu, tampak bagaikan kebingungan.
Kalau boleh aku mengetahuinya, katakanlah kepadaku yang sebenarnya”.
Lalu Bidadari Kuning menjawab : “
Singgih Mpungku hamba bidadari dari Indraloka, kemudian Mpu Kamareka bertanya
kembali : “ Apa tujuanmu mendatangi diriku”.
Dijawab oleh Beliau yang baru datang : “
Mohon ampu Mpungku, tiada lain hamba ini bepergian berkeliling Bali
amurang-murang lampah memasuki daerah Bali mencari tirtha pawitra, kemudian
terlihat oleh hamba adanya bayangan cahaya bercampur dengan asap, itu yang
membuat hamba datang ke tempat ini”.
Mpu Kamareka kembali menjawab : “
Singgih engkau yang bagaikan “nadi putri” apa yang menjadi tujuan mencari
“tirtha pawitra”.
Bidadari Kuning lalu menjawab : “
Singgih Sang Maha Pengempuan, dahulu hamba ketika berada di Sorga
berbincang-bincang dengan watek Gandarwapati, hamba bermaksud dibencanai namun
tiada berhasil, karena merupakan tujuan yang ingin dicapai, itu yang membuat
hamba pergi dari Sorga “ amurang-murang lampah” (ngutang pajalan) dengan maksud
matirtha gamana yang kemudian bertemu dengan Sang Muniwara di tempat ini”.
Mpu Kamareka lalu menjawab : “ Sangat
baik jika demikian, jika boleh marilah bersama-samaku di tempat ini menanggung
derita”.
Bidadari Kuning menjawab : “ Singgih
Mpuku hamba ini dari Sorgaloka diperintahkan oleh Hyang Indra karena hamba
tiada mendapatkan yang ingin hamba dapatkan. Itulah sebabnya hamba berkelana ke
tempat ini karena hamba teringat kepada Hyang Batara waktu dahulu. Di tempat
ini konon jodoh hamba. Itulah sebabnya hamba mendatangi Mpuku ini. Kini hamba
bertanya kepada Mpuku, kalau berkenan katakanlah kepada hamba dengan
sebenarnya”. Mpu Kamareka terdiam tiada tahu apa yang harus diperbuat dan
bingung pikiran Beliau bagaikan diiris dan dikuasai oleh saktinya nafsu
keinginan, pada akhirnya Beliau berucap serta “gegetan” (geretenan) : “ Duhai
permata hatiku engkau Jungjunganku, tak lain kakak selaku jodohmu, aku juga
mengetahui ucapan Hyang Batara dahulu bahwa bidadari jodohku, sehingga penat
kakak menunggu adinda”.
Segera menundukkan
kepala Bidadari Kuning yang segera dipangku dan dicium bertubi-tubi, karena
bagaikan dijatuhi madu pikiran beliau : “ Permata hatiku engkau Jungjunganku,
tuluskanlah belas kasihmu kepadaku, segala yang merupakan perintah adinda aku
tiada menolak, walau sampai tujuh kali penjelmaan senantiasa kanda mengiringkan
engkau yang tak ubahnya stanuh. Selanjutnya Mpu Kamareka menggigit serta
mencium yang kemudian menjawab beliau yang tak ubahnya madu mentah dengan mata
yang menahan air mata : “ Singgih Mpuku, janganlah “gregetan” siapa yang dihari
kemudian apabila kanda mencapai keadaan sentosa hamba mengiringkan sang mamuni.
Namun ada permintaan hamba, jika Sang Mahamuni setelah bersuami istri denganku,
maka Sang Mpu tiada boleh menolak perintahku, karena demikian kebiasaan di
Sorga”.
Mpu Kamareka menjawab : “ Adikku Si
cantik jelita, jika demikian permintaan adinda, kanda siap memenuhi janganlah
adinda merasa ragu. Lalu Bidadari Kuning dirangkul dan dibawa ke tempat tidur.
Sangat banyak jika diceritakan keadaan kedua beliau itu di dalam memadu asmara,
di atas tempat tidur, keduanya telah merasakan kenikmatan di atas kasur yang
berbau harum hingga sulit dapat dihitung dan rukun kedua beliau itu sebagai
suami-istri. Demikian tingkah laku Mpu Kamareka memperistrikan Bidadari.
Entah telah beberapa
lama kemudian Bidadari Kuning hamil, setelah berumur tua kandungannya si bayi bergerak-gerak di dalam perut beliau
yang kemudian lahirlah dua orang putra beliau laki-laki dan perempuan yang elok
rupawan wajahnya yang membuat bukan main senang ayah dan bundanya. Selanjutnya
di upacarakan sesuai dengan upacara seorang manusia, yang laki-laki bernama Ki
Kayu Selem dan yang perempuan bernama Ni Kayu Cemeng. Kini disebutkan bahwa
keduanya telah berumur dewasa, selanjutnya Ki Kayu Selem berdatang sembah
kepada ayahandanya : “ Singgih Jungjunganku ayahanda, kini anakda telah dewasa
lalu dimana adanya orang yang selaku pendamping, apabila dapat dibenarkan mohon
diberikan petunjuk agar anakda segera mempunyai istri karena keinginan anakda
berada di daerah pegunungan”. Jawaban dari Mpu Kamareka : “ Anakku Kayu Ireng,
tak ada lain orang yang menjadi istrimu , adalah Ni Kayu Cemeng karena dia
adalah jodohmu sejak masih berada di dalam perut, hanya tinggal menunggu hari
yang baik”.
Si Bidadari Kuning
(ibunya) menjawab : “ Anakda apa yang telah dikatakan oleh ayahandamu janganlah
kehilangan akal”. Hatur Ki Kayu Ireng : “ Hamba mengiringkan petunjuk ibunda,
namun anakda berharap agar secepatnya dilaksanakan. Beberapa lama kemudian pada
“dewasa ayu” lalu dilakukan upacara perkawinannya Ki Kayu Ireng dengan Ni Kayu
Cemeng. Yang bukan main kemesraannya di atas tempat tidur, karena sama-sama
pandai dalam hal memadu kasih. Demikianlah keterangannya asal mulanya yang
disebut Pasek Kayu Selem yang berkembang di Pulau Bali.
Disebutkan kembali Mpu
Kamareka yang memberikan pengarahan kepada putranya yakni Ki Kayu Jayamaireng :
“ Anakku Kayu Ireng, dengarkanlah kata ayahanda, dikemudian hari nanti jika ada
keturunanmu beritahukanlah juga apa yang menjadi kebajikannya serta berguru
kepada para keturunannya Batara Mpu Gnijaya yang disebut “sanak pitu” dimana
engkau masih saudara “misan” dan “mamindon”. Dahulu ada sabda Batara Abra
Sinuhun kepada Ayahanda tiada dibolehkan saling juang dan saling sembah, namun
engkau terhadap para keturunanmu, dibolehkan saling sembah terutama saling
juwang karena engkau adalah murid beliau dan janganlah menentang. Demikianlah
keharusannya hidup sebagai manusia, lagipula jika datang hari kematianmu,
janganlah dibakar mayatmu, karena Hyang Batara tiada suka kecemaran “pinggit”,
karena sangat dekat dengan Parhyangan Pura Panarajon, Pura tegeh, Ulun Danu dan
Batur agar jangan “kelingku biu” oleh asapnya, karena berasal dari orang Bali
yang tiada boleh dibakar dan harus ditanam.
Ketika Mpu Kamareka
dimana sudah lanjut usia putra beliau Sang Jaya Kayu Ireng yang memperistrikan
saudaranya yakni Ni Kayu Ireng yang baru masuk satu keturunan dan Sang Jaya
Kayu Ireng pun melakukan upakara “maput gala” seperti ayahandanya karena
keturunan Bujangga Bali sesuai dengan pesan Batara dahulu. Dan diganti namanya
menjadi Mpu Gnijaya Mahireng. Kemudian beliau Mpu Kamareka menurunkan tiga
orang putra laki-laki yang rupawan, masing-masing bernama : Sang Made Celagi,
Sang Nyoman Tarunyan, dan Sang Ketut Kayu Selem, yang kemudian hari ketiganya
duduk sebagai Bujangga “katapak” oleh ayahandanya. Seusai “maputgala” Sang Kayu
Celagi bergelar Mpu Kaywan. Yang bungsu bergelar Mpu Nyoman Tarunyan, dan yang
paling Ketut bergelar Mpu Badengan. Adapun Mpu Kaywan pergi meninggalkan
Gwasong melakukan yoga di Pura Narajon yang selanjutnya di Balingkang, Mpu
Nyoman Tarunyan melakukan yoga dihadapan Gunung Telukbyu yang disebut Belong.
Mpu Gnijaya Mahireng bersama dengan Mpu Badengan, masih tetap melakukan yoga di
Gwasong bersama ayahandanya. Kemudian hari nanti Gwasong dinamakan Songan.
Putra dari Mpu Jaya
Mahireng yang tiga orang laki-laki yang tertua bernama Sang Aruhuru, adiknya
bernama Sang Kayu Selem dan Wreksa Ireng dan yang perempuan bernama Ni Kayu
Nyelem. Adapun putranya Mpu Panarajon satu orang laki-laki dan empat orang
perempuan, namanya masing-masing yang laki-laki bernama Sang Pranarajon sama
dengan ayahandanya. Dan keempat orang perempuannya bernama: Ni Nguli, Ni Ayu
Ireng, Ni Ayu Kinti, dan Ni Ayu Kaywan. Putra Mpu Tarunyan satu orang laki-laki
dan tiga orang perempuan, masing-masing bernama : yang laki-laki bernama Sang Tarunyan
sama dengan ayahandanya, katiga anak putrinya bernama : Ni Ayu Dani, Ni Ayu
Trunyan dan Ni Ayu Taruni. Adapun putra Mpu Badengan, dua orang laki-laki
masing-masing bernama : Ki Kayu Celagi dan Ki Kayu Taruna. Sebanyak itulah para
putranya yang disebut “Catur sanak” yang baru dua turunan yang masih termasuk
saudara “Misan”. Sang Taruhulu memperistrikan adiknya yang bernama Ni Kayu
Ireng yakni putra dari Mpu Pranarajon. Adapun yang bernama Sang Wreksa Ireng
memperistrikan dua orang saudara misannya yang dimadu dengan saudaranya yang
bernama Ni Ayu Nguli dan Ni Ayu Kinti putra dari Mpu Pranarajon.
Adapun yang bernama
Sang Kayu Selem memperistrikan yang bernama Ni Ayu Tarunyan putra dari Mpu
Tarunyan, dan putra Mpu Kaywan yang berkedudukan di Panarajon yang bernama Sang
Pranarajon lalu memperistrikan Ni Ayu Taruni putranya Mpu Tarunyan. Sang Tarunyan
putranya Mpu Tarunyan memperistrikan putranya Mpu Jaya Ireng yang bernama Ni
Ayu Kayu Nyelem. Putra Mpu Badengan yang bernama Ki Kayu Celagi memperistrikan
Ni Ayu Dani putra Mpu Tarunyan. Adapun beliau yang bernama Sang Taruna
memperistrikan Ni Ayu Kaywan putranya Mpu Pranarajon. Begitulah keadaannya yang
“saling juang kejuang antara saudara misan”. Kini disebutkan yang merupakan
“cudamani” yakni beliau Mpu Kamareka telah banyak mempunyai keturunan dan
beliau semakin tua dan pada suatu hari semua putra-putranya dikumpulkan
bermaksud untuk memberikan wejangan menjelang kembali ke alam-sepi dan inilah
ucapan beliau : “Anakku dan para cucuku kesemuanya, dengarkanlah kata-kataku,
karena wayahmu segera meninggalkan kalian kembali ke alam-sepi, karena telah
cukup umur ayahanda di dunia ini. Pada datangnya hari bulan Purnama sasih
Kartika dan setelah selesai upacaranya, kalian semuanya agar mendirikan
kahyangan untuk mendudukan Sang Hyang Tripurusa, terutamanya Sanghyang Suci
nirmala. Dan untukku buatkanlah bebaturan, jika telah usai mendirikan
Parhyangan dan Bebaturan, inilah penjelasannya Sang Hyang Dwipala dan stananya
Batara Hyang suci yang bergelar Sanghyang Taya. Adapun yang disebut Sanghyang
Tripurusa, adalah Batara Brahma, Batara Wisnu dan Batara Iswara. Dan tentang
stananya Ibu Pertiwi pada saat bertemu dengan Sanghyang Akasa, itulah yang
dinamakan “paibon”. Tetapi aku yang lebih duluan dibuatkan Bebaturan dimana hal
itu disebut memuja roh (amuja-pitra). Demikianlah jangan dilupakan dan jika
telah selesai mengupacarakan Kahyangan, jangan sampai dilupakan melakukan
upacara yadnya beserta semua bentuk upacaranya serta “sungsung” bersama para
keturunanmu sampai kemudian hari nanti maka kalian akan mendapatkan
keselamatan. Katakanlah kepada keturunanmu dimanapun mereka berada agar
menghaturkan “wali” pada hari bulan mati sasih Kedasa, jangan tiada menempati
waktunya. Jika ada keturunanmu yang tiada melaksanakan apa yang telah menjadi
kebajikannya, mereka itu bukan keturunanmu mereka disebut “ngutang sesana”. Mudah-mudahan
mereka mendapatkan kutukan dariku, agar banyak pekerjaan kekurangan pangan,
kemanapun mereka pergi tiada mendapat keselamatan.
Adalagi yang perlu
kalian ketahui, dikemudian hari nanti jika ada pohon kayu yang tumbuh di dalam
Kahyangan yang hitam warna pohonnya, itu merupakan tanda dariku yang telah
berperwujudan “sekala-niskala” yang telah berkedudukan disana, berperwujudan
Sanghyang Jagatkarana kalau telah ada pohon kayu hitam yang tumbuh dalam pura
dinamakan Pura Kayu Selem. Dan seperti di Gwasong, jika ada pohon beringin
tumbuh, itu merupakan tanda-tandaku bahwa di tempat itu menyikan dahulu, dari
tempat itu wayahmu mendapatkan ke “sidian” yang sempurna untuk para keturunanku
dan mudah-mudahan kalian tiada kekurangan pangan dan selalu menemukan kesejahteraan.
Inilah tata cara untuk menghaturkan “widi wedana” antara lain : suci asoroh
serba hitam, itik hitam “jambul mulus” disertai dengan “guru piduka”
dipersembahkan kepada Batara Wisnu disertai dengan pemujaannya. Beberapa hari
kemudian tiba hari bulan Purnama sasih Kartika pada saat itu Mpu Kamareka
kembali ke alam sepi. Akhirnya Mpu Jaya Mahireng dengan diiringkan oleh para
putra, cucu dan oleh para murid beliau lalu mendirikan Kahyangan antara lain :
sanggar agung yang merupakan stananya Hyang Suci yang bergelar Sanghyang Taya
dan Gedong Tripurusa tiga tingkat / bertingkat tiga yang merupakan stananya
Sanghyang Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa, dimana ketiga beliau itu yang disebut
Sanghyang Tigayadnya. Ada lagi gedong bertingkat 2 merupakan stananya Hyang
Brahma dan Hyang Wisnu. Adalagi kemulan rong tiga, stananya beliau Sanghyang
Tripurusa : Brahma, Wisnu, Iswara, pada saat beliau mengadakan pertemuan. Ada
lagi “Bebaturan” rong dua stananya Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang
Pretiwi dan itulah yang dianggap si ayah dan si ibu itu yang mengeluarkan
“amreta siwamba” disebut pula Dwipala.
Ditengah-tengah disebut
“pesamuan agung” dan membuat stananya leluhur/ kawitan diluar tempat “bebaturan
rong dua” laki-laki dan perempuan tempat itu disebut tempat menghadap para
Hyang, menurut pesan beliau yang telah mencapai moksa. Ditambah lagi
“bebaturan” rong tiga yang merupakan stananya Sanghyang Tigasakti lengkap
dengan “sedahan taksu”. Dan setelah selesai pembangunan pura kemudian ada
tumbuh kayu / pohon hitam yang merupakan tanda seperti pesan beliau yang telah
“moksah” itulah yang menyebabkan pura itu diberi nama Pura Kayu Selem sampai
sekarang, ceritanya kayu tersebut dinamakan “celagi ireng” dan setelah selesai
pembangunan pura, lalu dilakukan upacara masasapuh dan melaspas disertai
ngenteg linggih. Setelah itu kembali Mpu Jaya Ireng bersama keluarganya
membangun Kahyangan yang diberi nama Pura Jati yang merupakan tanda (cihna)
benar-benar terjadi bangunannya beliau yang “kasungsung” oleh seluruh orang Bali.
Dikemudian hari nanti jika ada seseorang melakukan upacara dengan memohon tirta
kamandalu dan para keturunanku yang memahami aji purana memuja mempersembahkan
“widhiwedana” dengan memuja Batari Gangga. Demikian pelaksanaannya lebih dahulu
yang menyebabkan dinamakan Pura Jati merupakan tanda (cihna) benar-benar
menghaturkan pejati. Setibanya hari bulan mati sasih Kedasa lalu menghaturkan
piodalan setiap satu tahun.
Wejangan-wejangan beliau
kepada para keturunannya antara lain : seperti pesan “kawitan” dahulu agar
jangan pada melupakan terhadap apa yang menjadi kebajikan di dalam
mengupacarakan dan membuat baik keadaan Kahyangan, bakti terhadap “kawitan”.
Dikemudian nanti jika masing-masing telah berjauhan tempat tinggal, agar
sama-sama pada mengingat merupakan kewajiban sampai hari nanti. Jika kalian
melupakan tiada memahami mekawitan maka engkau kena kutukannya Sanghyang Tri
Purusa terutama terkena kemurkaannya beliau yang telah mencapai kamoksan.
SEJARAH
SANGGAH DADIA KINDITAN PASEK KAYU SELEM
Untuk sejarah berdirinya
Sanggah Dadia Kinditan Pasek Kayu Selem karena keterbatasan informasi, maka
penulis tidak dapat menjelaskan secara mendetail. Sanggah Dadia Kinditan ini
hanya yang penulis ketahui di renovasi atau ada perbaikan ulang yang kedua itu
tanggal 14 November 1985. Dan tentang pelinggih-pelinggihnya juga sedikit
pemangku mengetahui penjelasan maupun fungsinya.
PELINGGIH
- PELINGGIH YANG ADA DI SANGGAH DADIA KINDITAN
PASEK
KAYU SELEM
Jenis palinggih di
sanggah/merajan dapat dibagi dua yaitu palinggih inti dan palinggih pelengkap.
Palinggih inti yaitu Kemulan, sedangkan palinggih pelengkap adalah palinggih
Taksu, Ngerurah, dan ada beberapa palinggih pesimpangan pemujaan atau
penyawangan dewa-dewa di Pura Kahyangan Jagat Bali. Jenis dan bentuk pelinggih
itu adalah sebagai berikut (Winanti, 2009:39).
1.
PELINGGIH
KEMULAN RONG TIGA
Pelinggih
Kemulan Rong Tiga merupakan pelinggih yang paling inti dalam Sanggah atau
Merajan. Dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga sesungguhnya yang disembah atau
disungsung adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini
diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murthi/ Hyang
Kamimitan atau Hyang Kemulan.
Menurut Prof.
Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) ada beberapa isi lontar yang
sejalan dengan penjelasan diatas adalah :
1. Lontar
Usana Dewa :
Pada sanggah Kemulan yang berstana
adalah Sang Hyang Atma. Kemulan rong kanan adalah Para-atma yaitu bapak. Di
Kemulan rong kiri adalah Siwa-atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah
wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.
2. Lontar
Gong Besi
Pada Kemulan rong kanan sebagai
bapak adalah Para atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa atma.
Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna atma atau leluhur seterusnya,
yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang
Tunggal, mempersatukan wujud.
3. Lontal
Purwa Bumi Kemulan
Yang berstana di Sanggah Kemulan
adalah atman sebagai Batara Hyang Guru atau Guru Rupaka.
4. Lontar
Siwa Gama Kemulan
Yang berstana di Sanggah Kemulan
adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “Kramanta Sang Pitara muliheng batur
Kamulannya nguni”.
Jadi Lontar-lontar tersebut menekankan
bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang
Guru (maksudnya Guru Rupaka). Roh-roh suci atau Dewa Hyang atau Batara Batari
keluarga itu sendirilah yang distanakan di Kemulan rong tiga dan rong kalih
yang disembah oleh keturunan mereka. Yang disembah bukan Tri Murti atau Tri
Purusa lagi, karena semua itu sudah menjadi jiwatman yang berasal dari Guru
Rupaka. Bukan Batara Guru, tetapi Guru Rupaka keluarga itu (Suhardana,
2011:61).
Pada pelinggih
Kemulan kita memohon perlindungan dan keselamatan apabila kita akan bepergian
jauh. Pada pelinggih Kemulan Rong Tiga dapat dihubungkan dengan ajaran “Tri
Rnam”,agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi yakni tiga
hutang manusia yang harus dibayar, yaitu :
1. Hutang
kehadapan Sang Hyang Widhi dan semua manifestasinya.
2. Hutang
kehadapan Maha Rsi
3. Hutang
kehadapan Leluhur
Timbul suatu
pertanyaan mengapa kita menyembah roh leluhur yang telah suci? Kita melakukan
hal itu, karena tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah bersatu dengan yang
maha suci. Dewa Pitara yang distanakan di Kemulan itu, oleh karena telah
mencapai kedewaan atau alamnya Sanghyang Tri Murti, maka Dewa Pitara itu
diidentikkan dengan Sanghyang Tri Murti. Akan tetapi palinggih ini bukan
pelinggih Tri Murti. Pengidentikkan ini bisa diterima karena Hindu mempercayai
adanya moksa yaitu luluh bersatunya Pitara/Atma dengan Dewa atau Tuhan.
Oleh karena Dewa
Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti, Dewa Pitara yang berstana di
Kamulan juga disebut Bhatara Hyang Guru. Bhatara Hyang Guru di sini adalah Dewa
Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa, dalam fungsi beliau
sebagai pendidik umat manusia (Winanti, 2009:32).
Konsep penyatuan
sivasiddhanta dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah adanya Sekta Siwa,
Brahma dan Wisnu karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti.
Bhatara Guru dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah Dewa Siwa, dalam fungsi
beliau sebagai pendidik umat manusia.
2.
PELINGGIH
TAKSU
Kata
“Taksu” adalah kata bahasa Bali (bukan Sanskerta atau Jawa Kuno atau Kawi) yang
berarti kekuatan bathin atau kekuatan spiritual. Kekuatan di dalam diri yang
memancarkan pesona, daya pukau, wibawa dan sekaligus karisma (Suhardana,
2011:157).
Palinggih Taksu
adalah palinggih dari Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan
bhiseka Hyang Taksu yang memiliki fungsi memberikan kekuatan spiritual atau daya
magic yang menyebabkan keberhasilan semua pekerjaan dan memelihara semangat dan
gairah hidup yang penuh dengan godaan (Winanti, 2009:31). Adapun bentuk
Palinggih Taksu dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Taksu
Tenggeng
Taksu ini dibagi menjadi tiga bagian
yaitu bagian bawah disebut Bataran, diatas bataran menggunakan sebuah tiang
yang menyangga semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Dengan demikian,
Taksu Tenggeng adalah palinggih yang bagian bawahnya merupakan bataran, di
tengahnya sebuah tiang dan bagian atasnya sebuah ruangan yang beratap.
2. Taksu
Nyangkil
Bentuknya hampir sama dengan Taksu
Tenggeng. Hanya saja ruangannya terdiri dari dua ruangan (rong). Bagian bawah
disebut bataran, bagian tengah disebut tiang (saka) bagian atas dua buah rong
yang menyangga atap.
3. Taksu
Agung
Bentuk bangunan Taksu Agung terdiri
dari bataran di bagian bawah, di bagian tengah adalah badan bangunan, di
atasnya merupakan sebuah ruangan disangga oleh sepasang Saka Anda ditutupi oleh
atap bangunan. Penggunaan masing-masing palinggih Taksu ini tergantung dari
latar belakang sejarah dari keluarga yang memiliki merajan tersebut. Meskipun
berbeda-beda bentuknya, fungsi Taksu ini adalah sama.
Busana untuk
Palinggih Taksu adalah Putih Poleng.
Untuk upakara
atau banten yang dipersembahkan untuk Pelinggih Taksu adalah Ajuman (1) dan
Canang Sari (1).
Dalam konsep penyatuan
sivasiddhanta adalah ada kemiripan fungsi pelinggih Taksu dengan Ista Dewata
dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim Tuhan
(Sakti/kekuatan) (Gunawan, 2012:21).
3.
PELINGGIH
MERU BHATARA KAWITAN
Bangunan
pelinggih Meru tersebut dibedah dari mitologinya, bahwa Meru adalah salah satu
nama gunung di sorga loka. Salah satu puncaknya disebut kailasa sebagai tempat
tinggalnya Dewa Siva. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung
Himalaya di India, gunung Mahameru di Jawa dan gunung Agung di Bali. Untuk
keperluan pemujaan, maka dibuatlah reflika gunung tersebut dengan bangunan Meru
(Sandika, 2011:92).
Selanjutnya
bertalian dengan Meru ini, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu membedakannya dalam 6 jenis yaitu :
1. Meru
Tumpang Satu
2. Meru
Tumpang Dua
3. Meru
Tumpang Tiga
4. Meru
Tumpang Lima
5. Meru
Tumpang Tujuh
6. Meru
Tumpang Sebelas
Dapat
ditambahkan pula bahwa pedagingan untuk Meru Tumpang Satu sampai dengan Tumpang
Tiga harus diberi pedagingan pada dasar dan puncaknya saja, sedangkan untuk
Meru Tumpang Lima sampai dengan Tumpang Sebelas harus diberi tiga pedagingan
yaitu pada dasar, tengah dan puncak Meru. Meru atapnya bertingkat-tingkat dan
jumlah tingkatnya kecuali yang bertingkat dua, selalu ganjil seperti tiga,
lima, tujuh, sembilan dan sebelas dan semakin keatas semakin kecil. Jumlah
tingkat yang ganjil menunjukkan kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang
sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang
ganjil tidak akan melahirkan apa-apa lagi.
Bilangan
ganjil itu bernilai tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh
bilangan ganjil, Sanghyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa
trisakti (3). Unsur kehidupan adalah Panca Mahabhuta (5) sedangkan lapisan bumi
dan angkasa masing-masing 7 (sapta patala dan langit ke tujuh). Arah angin
arahnya sembilan (9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai
makna khusus bagi umat Hindu, yaitu sakti dan bernilai tinggi.
Kemudian
mengenai jumlah tingkatnya dapat dijelaskan demikian. Semakin banyak tingkat
Meru biasanya menunjukkan semakin agung Bhatara-Bhatari yang distanakan di Meru
itu. Arwah suci para Raja biasanya distanakan dalam Meru dengan tingkat
sebelas, sedangkan arwah suci orang kedua dalam suatu kerajaan, misalnya Patih
Agung, distanakan dalam Meru bertingkat sembilan. Demikianlah semakin rendah
jabatannya, maka arwah sucinya distanakan pada Meru dengan tingkatan yang lebih
rendah pula (Suhardana,2006:119). Meru tumpang satu, tiga dan lima adalah
pelinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga (Winanti,2009:44).
Konsep
Penyatuan Sivasiddhanta dalam Pelinggih Meru yaitu adanya sekte Siwa, dimana
dalam Mithologi Meru dijelaskan bahwa Pelinggih Meru sebenarnya nama sebuah
gunung di Sorgaloka yang puncaknya bernama Kailasa yang katanya merupakan
tempat bersemayamnya Bhatara Siwa.
Upakara atau Banten yang
dipersembahkan kepada Pelinggih Meru adalah Banten Suci (1), Banten Peras (1),
Banten Penyeneng (1), Canang Raka (1) dan Canang Sari (1).
4.
PELINGGIH
RAMBUT SEDANA
Merupakan
pelinggih Dewi Sri dengan bhiseka Sri Sedana atau Limascatu yaitu sakti
(kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia (Winanti,
2009:42). Pelinggih Rambut Sedana piodalannya pada saat Buda Wage Kelawu.
Dalam pelinggih Rambut Sedana
terdapat konsep penyatuan Sekta Waisnawa dimana dengan jelas diberikan petunjuk
dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri
dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran.
Upakara atau Banten yang
dipersembahkan kepada Pelinggih Rambut Sedana adalah Suci, Ajuman, Peras,
Penyeneng, dan Sodan putih kuning.
5.
PELINGGIH
MENJANGAN SELUANG/SAKALUANG
Menjangan
Seluang yang bentuknya panjang ini terdiri dari tiga ruang (rong) yang cukup
besar. Rong pertama dan kedua hampir sama lebarnya kira-kira 75cm. Dalam rong
yang besar yang ditengah, berisi kepala menjangan lengkap dengan tanduknya.
Bentuk Menjangan Seluang rupanya memang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
tiga kelompok besar masyarakat zaman dulu, dimana salah satu diantaranya yakni
kelompok Bali Aga terdiri dari enam Sekta Agama.
Riwayat
singkatnya adalah demikian. Ketika pada tahun 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali
(diminta bantuannya oleh Raja Bali Udayana Warmadewa), beliau melihat demikian
banyaknya sekta Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat.
Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan tiga kelompok besar dengan
enam Sekta Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di
desa Bedulu (Samuan Tiga). Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh
unsur masyarakat Bali ketika, yaitu :
1.1
Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa
dan beragama Siwa.
1.2
Unsur masyarakat yang beragama Budha
Mahayana (Mpu Kuturan dan para
pengikutnya).
1.3
Unsur masyarakat Bali Aga mewakili 6
Sekta Agama :
1.3.1
Sambu
1.3.2
Brahma
1.3.3
Indra
1.3.4
Wisnu
1.3.5
Bayu
1.3.6
Kala
Disepakati
dalam Pesamuhan Agung itu bahwa ketiga kelompok masyarakat Bali mempersatukan
dirinya ke dalam satu paham yang dinamakan Tri Murthi, yaitu bahwa Tuhan itu
hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma),
sebagai Pemelihara (Wisnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud
sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
Untuk
menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat Hindu di Bali,
maka didirikanlah Pelinggih Menjangan Seluang atau Sakaluang. Menjangan Seluang
atau Sakaluang karena itu manifestasi dari penyatuan berbagai Sekta Agama,
menjadi satu paham yaitu Tri Murthi atau Agama Hindu (Brahma-Wisnu-Siwa).
Pelinggih
Menjangan Seluang atau Sakaluang dipandang sebagai penyatuan pikiran, pendapat,
pandangan atau keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan,
serta kerukunan rumah tangga atau keluarga (Suhardana, 2011:83).
Hal
ini Mpu Kuturan sudah menyatukan Sekta-Sekta yang ada di Bali, karena berkat
jasa Beliau dan selalu mengenangnya maka didirikanlah Pelinggih Menjangan
Seluang/Sakaluang.
Upakara atau banten yang
dipersembahkan untuk Pelinggih Menjangan Seluang/Sakaluang adalah Ajuman (1),
Peras (1), Penyeneng (1), dan Canang Sari (1).
6.
PELINGGIH
MEPRUCUT
Pelinggih Gedong
Maprucut adalah persinggahan Bhatara yang ada di Pura Rambut Siwi (Mider
Adnyana,2012:170). Menurut Winanti, dalam bukunya Pura Keluarga dan Pratima
(2009:43) menjelaskan bahwa Gedong Maprucut adalah pelinggih Danghyang Nirartha
dengan bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna agama Hindu di Bali pada
abad ke-15.
7.
PELINGGIH
SURYA
Pelinggih
Surya, sebuah pelinggih untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi
segala kegiatan manusia khususnya upacara yadnya. Dalam Lontar Siwagama, gelar
Surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya atas anugerah dari Dang Guru (Dewa
Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau. Hyang Surya diberikan anugerah juga
sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala
kegelapan. Dari uraian ini tampak jelas adanya pengaruh sekta Sora (Surya)
dalam pendirian pelinggih Surya.
Busana pada pelinggih
Surya adalah kain putih kuning.
8.
PELINGGIH
KEMULAN RONG DUA
Secara purwa loka atau
kuna dresta pelinggih Kemulan Rong Kalih sebagai pengganti Rong Tiga. Maksudnya
sama, yaitu untuk memuja Dewa Hyang atau Dewa Pitara Leluhur, Hyang Kompyang.
Pada pelinggih ini dipercaya akan lebih mendekatkan dirinya dengan para leluhur
yang terdiri atas Bapak (leluhur laki-laki) dan Ibu (leluhur wanita). Karena
kedua beliau itulah yang amat berjasa secara nyata (sekala) dalam melahirkan
dan memelihara kehidupannya sebagai manusia di dunia nyata. Pada pelinggih Rong
Kalih Bapak pada Rong Kanan dan Ibu pada Rong Kiri (Suhardana, 2011:45). Ada
sedikit perbedaan antara fungsi Kemulan Rong Dua dengan Rong Tiga, dimana
Kemulan Rong Dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas Dewata,
belum diaben. Sedangkan Rong Tiga adalah tempat memuja roh leluhur yang telah
mencapai kualitas Dewata, telah disucikan dengan upacara Ngaben dan posisinya
secara niskala beliau sudah setara dengan Bhatara Guru (Gunawan, 2012:22).
Upakara atau banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Rong Kalih yaitu
banten Sodaan serta lengkap dengan Pesalinan atau Rerantasan putih kuning.
9.
PELINGGIH
PIASAN
Pelinggih
Bhatara-Bhatari semua ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep
(harum-haruman). Dan sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman. Pralingga-pralingga
dihias ketika dilinggihkan di sini (Winanti, 2009:45). Piasan berasal dari kata
pehiasan yang artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina
pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang
akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan
ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala
manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini
tidak mesti harus dibuat, boleh juga tidak, tergantung dari luas pekarangan
pemerajan (Suhardana, 1998:66).
10.
PELINGGIH
PENGAPIT LAWANG
Pelinggih Pengapit
Lawang dua buah pelinggih kiri kanan yang terletak di depan pemedal agung yang
merupakan stana Bhatara Kalla dengan bhiseka jaga-jaga, yaitu putra Bhatara
Siwa yang bertugas sebagai pecalang.
Busana dari pelinggih
pengapit lawang adalah busana putih poleng. Upakara yang dipersembahkan adalah
Canang Raka dan Canang Sari
11.
PELINGGIH
PESAMUAN
Menurut
pandangan penulis dilihat dari katanya Pesamuan dimana sama artinya dengan
pertemuan. Maka dari itu Pelinggih ini merupakan stana Bhatara-Bhatari untuk
mengadakan pertemuan antar para Dewa jika ada piodalan yang besar maupun yang
kecil.
Upakara yang
dipersembahkan yaitu Suci, Pula Gembal, Perangkatan, Tumpeng Guru Putih Kuning,
Linggih, bayuan, air, dan Dupa.
12. PELINGGIH
AKASA
Pelinggih Akasa merupakan lambang dari
Purusha. Di dalam kepercayaan Hindu Akasa disamakan dengan langit atau ether. Sehingga pelinggih ini percayai sebagai Ayah
(laki-laki) yang dapat menurunkan trah dalam sanggah kami.
13. PELINGGIH
DEWI DANUH
Pelinggih Dewi Danuh adalah penyawangan dan
berkedudukan di Pura Ulun Danu. Pelinggih ini adalah lambang dari Pradana, Dewi
dalam kepercayaan Hindu merupakan perlambang wanita ini dikarenakan bentuk
Danuh mirip seperti Yoni. Dalam
kepercayaan Siwaistik pelinggih ini dipercayai sebagai Ibu (wanita) yang dapat
melahirkan terah Pasek dalam Sanggah kami.
Mantra
di Pemerajan Kamimitan (Rong Tiga)
Paibon,
Panti, Dadia/ Padarman biasanya yang di gunakan adalah :
OM BRAHMĀ WISNU
ĪҪWARADEWAM,
JĪWĀTMANAM TRILOKANAM,
SARWA JAGAT
PRATISTHANAM,
ҪUDDHA KLEҪA WINĀҪANAM,
OM, GURU PĀDUKA DIPĀTA
YA NAMAH.
Namun ada Mantra
Pengastawa dari beberapa pelinggih (Sudarsana, 1998: 83) adalah :
Mantra
di Kemulan Rong Tiga
Ong
dewa-dewa Tri dewanam
Tri
Murti Tri Linggadmanem
Brahma
Wisnu maheswaram
Sarwa
jagat jiwatmanam
Ong
Guru Rupam Sadadnyanem
Guru
Pantaranam dewam
Guru
nama japet sada
Nasti-nasti
dine-dine
Ong
Gung Guru
Bionamah
suaha
Mantra
Palinggih Taksu
Ong,
Ang, Ang, Ang Sang Kala Raja
Bionamah
swaha
Ong
Kling, Kling Kling Sang Butha
Raja
bionamah Swaha
Mantra
Palinggih Menjangan Sakaluang
Ong
Hyang, Hyang jeng Sang Hyang
Panca
Rsi maha sidhi
Yenamah
swaha
Mantra
Kamulan Rong Dua
Ong
Ang Brahma atma yenamah
Ong
Ung Wisnu antaratma yenamah
Ong
Mang Sri Prajapati
Yenamah
swaha
Daftar Pustaka
Anandakusuma, Sri Reshi. 2006. Aum Upacara Dewa Yadnya. Denpasar: CV.
Kayumas Agung.
Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti
dan Fungsi Banten. Denpasar : PT. Offset BP.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Denpasar : IHDN.
Sandika, I Ketut. 2011.
Pratima Bukan Berhala, Pemujaan Tuhan
Melalui Simbol-simbol Suci Hindu. Surabaya : Paramita.
Sudarsana, Ida Bagus Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu, Manifestasi Sang Hyang
Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya.
Suhardana, K.M. 2006. Dasar - Dasar Kepemangkuan. Surabaya :
Paramita.
Suhardana, K.M. 2011. Menjangan Sakaluang. Surabaya : Paramita.
Winanti, Ni Putu.2009. Pura Keluarga dan Pratima. Denpasar :
Pustaka Bali Post.