Mengkaji
Makna dari Canang Sari dan penyatuan terhadap Sivasiddhanta
1.
Canang
Sari
Kata Canang berasal dari bahasa
Jawa Kuno yang pada mulanya berarti : “Sirih” yang mana Sirih disuguhkan kepada
para Tamu (Uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan daun Sirih
adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Hal itu hingga sekarang masih
bertahan terutama kebiasaan bagi para Tetua dalam memakan daun Sirih itu, yang
di bali disebut dengan “Pecanangan”. Daun Sirih merupakan benda yang bernilai
tinggi dan sengaja dipergunakan sebagai kebiasaan dalam menyambut tamu dan
sebagai lambang penghormatan.
2. Perlengkapan Canang Sari
a.
Ceper
Benda ini dapat
berbentuk segi empat sama sisi yang terbuat dari rangkaian Janur yang merupakan
sebagai alas dari Canang. Bentuk dari segi empat ini adalah melambangkan “Catur
Loka Pala” atau empat arah mata angin sedangkan silang sebagai penutupnya yaitu
empat arah lagi, sehingga akan menjadi Delapan arah mata angin yaitu bentuk
dari “Astadala”
a.
Porosan
Yaitu suatu bentuk rangkaian benda,
bila diperhatikan berbentuk wajik agak memanjang yang terbuat dari bahan :
Janur, Sirih, Kapur, Pinang dan Semat. Unsur spiritual yang ada pada “ Porosan”
adalah wujud dari “Tri Murthi” yaitu Saktinya Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Brahma, Wisnu dan Iswara. Untuk itulah Beliau diwujudkan ke dalam
bentuk “Porosan”. Porosan merupakan unsur sarana pokok dalam canang.
Pinang sebagai lambang pemujaan
Brahma, Sirih sebagai lambang pemujaan Wisnu dan Kapur sebagai lambang pemujaan
Iswara.
b.
Plawa
Sebagai lambang tumbuhnya pikiran
yang hening dan suci. Sebab dalam pemujaan kehadapan Tuhan sesuai
manifestasinya, haruslah ditumbuhkan pikiran yang hening suci. Karena pikiran
yang hening sucilah mampu menangkal segala bentuk pengaruh negatif/ godaan
nafsu duniawi. Dengan pikiran yang hening suci, akan dapat menarik dan
menghadirkan serta selanjutnya mendapatkan “Wara Nugraha” Hyang Widhi.
c.
Bunga
Bunga sebagai lambang ketulus
ikhlasan hati. Dalam pemujaan kehadapan Tuhan dibutuhkan suatu ketidak ragu-raguan,
artinya terfokus, percaya dan yakin akan keberadaan Beliau. Percaya dan yakin
adalah sumber asal dari ketulus iklasan. Bunga yang dipakai adalah bunga yang
segar, bersih, suci dan tidak layu dalam artian telah dijamah/ dimakan hewan
seperti ulat dan belalang. Bunga juga salah satu wujud dari cerminan kasih
sayang terhadap sesama ciptaan Tuhan.
d.
Jejahitan
Dalam pembuatan suatu bentuk
persembahan, khususnya Canang tiada lepas dari bentuk “Jejahitan” dan atau
“Tetuasan”. Secara nyata mejejahitan, apalagi dilaksanakan secara bersama-sama,
hal ini merupakan ungkapan rasa kebersamaan dan gotong royong di masyarakat.
Jejahitan merupakan suatu ungkapan ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Hyang
Widhi.
e.
Urassari
Benda ini berwujud dasar “
Tapakdara” yaitu lambang Swastika yang masih Netral. Dimana bentuk Tapakdara
ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia
dalam pemujaannya kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya.
Urassari ini terbuat dari dua potong Janur yang mana diberikan Tetuasan
sedemikian rupa dan dijahit yang selanjutnya akan berwujud menjadi bentuk
“Catur Loka Pala” dan terakhir menjadi Swastika dan dengan hiasan menyilang ke
sudut-sudutnya menjadilah bentuk “Padma Astadala”. Padma Astadala ini merupakan
lambang perputaran alam yang seimbang yng merupakan sumber kehidupan untuk
menuju kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Padma Astadala ini disebutkan juga
sebagai Delapan arah penjuru alam dan juga sebagai Sthananya Dewata Nawa Sanga.
Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan dengan uraian sebagai berikut :
-
Timur, warna Putih berstana Dewa Iswara
-
Tenggara, warna Dadu (merah muda)
bersthana Dewa Mahesora
-
Selatan, warna Merah bersthana Dewa
Brahma
-
Baratdaya, warna Orange berstana Dewa
Rudra
-
Barat, warna Kuning berstana Dewa
Mahadewa
-
Barat laut, warna Hijau berstana Dewa
Sangkara
-
Utara, warna Hitam berstana Dewa Wisnu
-
Timur laut, warna Abu/Biru berstana Dewa
Sambu
-
Tengah, warna Mancawarna berstana Dewa
Siwa
Dengan bentuk Jejahitan “Urassari”
maksudnya adalah disamping sebagai stana para Dewata Nawa Sanga juga merupakan
permohonan kehadapan para Dewa untuk berkenan memberikan Anugerahnya dalam
kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, Bahagia dan Sejahtera.
1.
Tatacara
membuat Canangsari
Sebagaimana disebutkan bahwa dasar
dari sarana persembahan kehadapan Tuhan adalah berupa : Daun, Bunga, Buah/Biji,
dan Air serta Api. Maka disini perlu diperhatikan mengenai tatacara membuat
canang dimaksud sebagai berikut :
- Pertama-tama
persiapkan Ceper, selanjutnya diisi Porosan.
- Di
atas Porosan diletakkan Irisan pisang, tebu, kiping dan bhasma (miik-miikan)
berupa serbuk Cendana dan juga tepung yang berwarna putih dan kuning.
- Diatassnya
disusun dengan Urassari.
Terakhir barulah
dirangkai bunga sesuai dengan warna dan arah mata angin, yaitu : timur dengan
bunga warna putih, selatan warna merah, barat warna kuning, utara memakai warna
pelung (karena bunga warna hitam tidak ada) sedangkan ditengahnya disusun dengan Kembang Rampai (irisan daun pandan harum)
FILOSOFI
BANTEN PERAS DALAM SIVASIDDHANTA
PENGERTIAN
PERAS
Kata
“Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras”
bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah
diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah
diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya.
Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi
“Perasaida” artinya “Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan,
bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan
upacara itu dikatakan “Tan Paraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak
resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang
kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa
konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk
hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah
terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk
mencapainya.
Dalam
Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang
Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina
Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati,
yaitu suatu bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu
keinginan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
PERLENGKAPAN PERAS
Banten
Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan /
Tetuasan, antara lain :
a. Taledan
/ Tamas / Ceper
Sebagai
dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang
mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya
sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya.
Makna dari Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan
yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana,
Raja Marga).
b. Tampelan,
Benang Tukelan dan Uang
Ini
berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan
lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan
meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan
ini adalah (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan
adalah kesucian dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk
mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan
yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang
benar. Dan Makna dari Uang adalah lambang dari Deva
Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber
kehidupan.
c. Tumpeng
Dibagian
depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju
rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah
ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan)
harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan
orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga
dapat sukses menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari
nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan
daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi.
Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu
Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya
akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa
nafsu.
d. Rerasmen
Rerasmen
(lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan
(telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan
Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau
Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah
dipergunakan sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu
taledan berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat
buah kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki
makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi
dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
Mengenai
sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa
Banten” dijelaskan sebagai berikut :
Kacang nga ; ngamedalang pengrasa
tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya : Kacang-kacangan itu
menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun
melambangkan kesatuan.
Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos
sane becik rinengo
Artinya :
Ulam itu ikan yang dipakai sebagai
Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik
untuk didengarkan.
e. Buah
Dibagian
belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel,
salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa Wija nga;
sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring
kahuripan.
Artinya :
Segala macam dan jenis
buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam
(Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan.
f. Jajan
Jajan
ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis
banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina,
Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Gina/ bagina nga; wruh,
Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga;
pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga;
pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya :
Gina lambang
mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti
terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang
kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan
dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama
dengan patuh.
g. Sampyan
Peras
Berupa
sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan
Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana
yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang
dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan
metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga;
ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari
sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan
secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga
dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai
berikut :
Sedah
woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa
Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking
mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih
kumasih.
Artinya :
Sirih dan pinang itu
perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan, berawal dari
dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam
keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah adanya arti
dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam kehidupan keagamaan
Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat umat manusia kehadapan
Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk mensahkan dan atau meresmikan
dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon kehadapan Hyang Widhi atas
keberhasilan suatu tujuan.
Dalam setiap akhir
persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik
beberapa bagian dari Tiga lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya
dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada alas banten Peras.
Adapun mantra Peras
adalah sebagai berikut :
Om Suddha bumi suddha
akasa
Om Suddha dewa suddha
manusa
Om Siddhir astu tad
astu
Om Ksama sampurna ya
namah swaha
Om Mili mili maha
amrtham
Suksma parama siwa ya namah
Om Ung ung Om Ang Ung
Mang.
Om Ekawara, Dwiwara,
Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
Parisudha ya namah
swaha, Om.
Banten Ajuman
Ajuman
merupakan bagian macam dan jenis banten / upakara yang sangat sering digunakan
dalam pelaksanaan bhakti kehadapan Hyang Widhi. Ajuman ini berfungsi sebagai
bentuk suguhan kehadapan Hyang Widhi, karena didalamnya dilengkapi dengan nasi,
lauk pauk dan buah. Banten Ajuman ini sering juga disebut dengan nama Rayunan,
Sodan, Ajengan dan Soda Rayunan. Ajuman
disebut soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina, suci dan lain-lain.
Bila
ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun
dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan
serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya
masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang
agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau
yang lain.
Perlengkapan
dari Banten Ajuman / Sodaan antara lain :
Bahan
perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut
"penek" atau "telompokan", beberapa jenis jajan,
buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan
teri, telor, terong, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan
sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya.
Di atasnya diisi dua buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih
berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda (sampian ajuman)
berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas
disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan canang
genten/ canang sari/ canang burat wangi.
v Alasnya tamas/taledan/ceper
ini merupakan Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan
yang murni/ananda) sedangkan Ceper/ Taledan lambang Catur marga (Bhakti, Karma,
Jnana, Raja Marga). Sarana yang dipakai untuk memuliakan
Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi).
v Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi yang
dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah
lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam
diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia
tetap eksis.
v Sampyan Plaus/Petangas dibuat dari
janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas
yang dilengkapi dengan porosan yaitu simbol Tri Murthi, wadah lengis dan bunga,
memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan
diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh,
karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.
v Beberapa
jenis jajan, buah-buahan lambang dari hasil perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga
macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur,
kacang-kacangan ini menyebabkan perasaan menjadi satu, ikan teri lambang bicara
yang baik untuk didengarkan, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun
kemangi (kecarum), garam, dan sambel.
Penyatuan Konsep Sivasiddhanta Dalam Banten Ajuman
Adanya sekta Waisnawa
dengan memakai taledan atau tamas yang merupakan lambang cakra, sebagai simbol
senjata dari Dewa Wisnu, selain sekta Waisnawa terdapat pula dari Sekta Siva
dan Sekta Brahma yang dipuja sebagai Tri Murthi didalam perlengkapan Banten
Ajuman yaitu Sampyan Plaus/Petangas
dimana dilengkapi dengan Porosan yang terbuat dari daun sirih melambangkan Dewa
Wisnu, Kapur melambangkan Dewa Siva dan Pinang melambangkan Dewa Brahma
FILOSOFI
DAKSINA DALAM SIVASIDDHANTA
Daksina
nama sebuah banten yang juga terdiri dari berbagai bahan yang mengandung
unsur-unsur sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagawadgita IX. 26, yaitu
pattram, puspham, phalam dan toyam. Unsur-unsur tersebut secara nyata berupa
antara lain :
- Daun / pattram, berupa daun : Janur, slepan/daun kelapa yang warna hijau, Sirih, Plawa/daun kayu-kayuan dan Peselan.
- Bunga / puspham, berupa bunga yang terdiri dari : Jenis-jenis bunga yang boleh dimanfaatkan untuk upakara yang segar, bersih, harum, dipetik langsung dari pohonnya, tidak layu dan tidak camah/bekas gigitan ulat/belalang. Hindari memakai bunga yang telah dirubung semut, serangga, terjatuh dengan sendirinya, bunga sarikonta, kedukduk, tulud nyuh, bunga ditanam dikuburan/setra, bunga berbulu dalam semua permukaannya.
- Buah / Phalam, berupa buah-buahan terdiri dari : kelapa, pisang, kemiri, panggi, pinang, bijaratus.
- Toyam / air, berupa air yang ada dalam kelapa yang dipakai daksina.
Sedangkan
mengenai perlengkapan berupa Telur dan Uang (kepeng) “ Pis Bolong” dan atau
uang beneran yang dipakai jual beli dalam keseharian dapat dimasukkan kedalam
pengertian buah. Kata buah disini bermakna juga mengandung pengertian yang agak
luas, yaitu dalam keseharian umat manusia jelas bekerja dan mendapatkan hasil.
Uang itu merupakan buah/hasil dari bekerja, di Bali disebut dengan istilah
“Buah Pegae” yaitu hasil dari bekerja. Telur dapat diartikan sebagai buah
perut, yang mana juga berartikan simbolisasi dari pada Tri Guna yaitu Sattwam,
Rajah dan Tamah.
Dalam Lontar
Yadnya Prakerthi, Daksina disebut sebagai lambang dari Hyang Guru, Hyang
Tunggal dan Hyang Wisnu, yang mana semuanya nama lain dari Dewa Siwa.
ARTI DAN MAKNA
DARI DAKSINA
Adapun Arti dan
Makna tiap perlengkapan Daksina ada sebagai berikut :
1.
Wakul
Berupa
Babedogan, terbuat dari daun kelapa hijau (tua), di Bali disebut dengan
Selepan, wujudnya bundar memanjang, sebagai perlambang kebulatan tekad dan atau
pemusatan pikiran terhadap Hyang Widhi.
2.
Tampak
Yaitu
benda terbuat dari dua potong janur dijahit menyilang seperti Tapakdara (+).
Sebagai dasar dari semua perlengkapan daksina berada paling bawah di dalam
wakul, terbuat dari dua potong janur atau selepan yang berbentuk silang sebagai
perlambang “Catur Loka Pala” merupakan empat arah dan dasar netral dari
Swastika yang selanjutnya akan membentuk “Padma Astadala” sebagaimana
disebutkan sama dengan “Urassari dalam Canang Sari.
3.
Benang Tukelan
Yaitu
sehelai benang warna putih yang diletakkan di atas “Tampak” berfungsi sebagai akar
dan lambang penghubung, diletakkan melingkar.
4.
Beras
Beras
merupkan biji / buah (phalam) yang merupakan perlambang dari Amrtha. Dalam
Sivasiddhanta adanya sekte Waisnawa dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang
pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi kebahagiaan dan
kemakmuran.
5.
Base Tampelan
Terbuat
dari dari dua lembar daun Sirih, satu berfungsi sebagai alasnya sedang satunya
diisi kapur dan pinang ditempel di atas lembar pertama kemudian dilipat naik
dan turun kmudian dijahit menjadi satu. Base Tampelan perlambang dari Tri
Murthi yaitu Pinang saktinya Brahma, Sirih saktinya Wisnu dan Kapur saktinya
Iswara. Jadi wujud bhakti kita kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya
sebagai Tri Murthi. Dalam Sivasiddhanta dalam hal ini terdapat Sekte Siwa
karena memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Tri Murthi.
6.
Kelapa
Dipergunakan
sebutir kelapa (terkecuali Daksina Gede mempergunakan serba lima), yang telah
dihaluskan atau dikupas bersih serabutnya. Kelapa merupakan salah satu jenis
tumbuhan yang semua bagian-bagiannya berguna. Khusus untuk buahnya ada
disebutkan semakin tua semakin bersantan.
Dalam
“Lontar Siwagama” disebutkan bahwa kelapa adalah salah satu kepalanya Bhatara
Brahma yang disimpan di dalam tubuhnya. Kemudian diambil oleh Bhatara Guru di
bawa ke selatan menuju pinggiran gunung Kampud dekat laut. Lama kelamaan
tumbuhlah menjadi kelapa. Selain itu kelapa juga perlambang dari alam semesta
(Bhuana Agung) disebutkan dalam Lontar “Aji Sangkhya” bahwa alam ini terbagi
menjadi 14 lapisan terdiri dari 7 dalam Prthiwi disebut dengan “Sapta Petala”
dan 7 lapisan lagi termasuk ke dalam Angkasa disebut dengan “Sapta Loka”.
Yang
termasuk ke dalam “Sapta Petala” dalam wujud kelapa terdiri dari : Air kelapa
(Mahatala), Isi kelapa yang lembut (Tala-tala), Isi Kelapa (Tala), Lapisan pada
isi kelapa (antala), Lapisan pada isi kelapa (Sutala), Lapisan tipis bagian
dalam kelapa (nitala), batoknya (patala).
Yang
termasuk “Sapta Loka” pada kelapa antara lain : Bulu batok kelapa (bhur loka),
Serat saluran (bwah loka), Serat serabut basah (swah loka), Serabut basah (mahaloka),
Serabut kering (jnana loka), Kulit serat kering (tapa loka), Kulit luarnya (setia
loka).
7.
Telur Itik
Penggunaan
telur itik dasar pemikirannya adalah, bahwa dalam keseharian, Itik adalah salah
satu hewan yang bersifat sangat Bijaksana dan dapat hidup di tiga tempat (air, darat
dan udara), selain itu dalam kehidupannya sehari-hari rasa persaudaraan
sesamanya sangat rukun dan mudah untuk diatur. Demikian juga halnya dalam
pemilihan makanan, walaupun tercampur dengan air dan lumpur sekalipun, tidak
pernah ditemukan saat makan, Itik saling serang antar sesamanya.
Telur
daksina untuk pejati dan lainnya, yang dihaturkan kehadapan Hyang Widhi, agar
selalu diusahakan memakai telur itik, hal ini didasarkan karena sifat dari Itik
itu sendiri sebagai simbol dari Sattwam. Sedangkan untuk Bhuta Yadnya, bila
tidak memungkinkan pemakaian telur itik, bisa dipergunakan telur ayam,
tercermin lebih banyak sifat Rajah dan Tamah. Dalam pemakaian telur, hendaknya
juga diingat pemakaian telur yang masih segar, jangan mempergunakan telur yang
rusak dan atau sisa dari penetasan.
8.
Bijaratus
Berasal
dari kata “Bija” sama dengan Biji dan “Ratus” sama dengan Paduan. Secara nyata,
Bijaratus adalah Perpaduan dari biji-bijian yang berwarna lima macam, yaitu :
Biji Jawa (putih), Biji Jagung Nasi (Merah), Biji Jagung (kuning), Biji Godem
(hitam), dan Biji Jali-jali (brumbun). Semua biji-bijian itu dibungkus dengan
Keraras. Arti dan maknanya adalah mencerminkan lima arah mata angin sebagai
mana disebutkan dalam “Catur Loka Pala” yang mana putih (Iswara di timur, merah
(brahma) di selatan, kuning (mahadewa) di Barat, hitam (Wisnu) di utara dan
brumbun (Siwa) di tengah.
9.
Gantusan
Terbuat
dari campuran beberapa jenis Bumbu, Garam dan ikan Teri, kemudian dibungkus
dengan Keraras. Maknanya adalah sebagai bekal dan kehangatan untuk mencapai
kehidupan yang damai dan sejahtera. Dan sebagai lambang sad rasa dan lambang
kemakmuran.
10.
Plawa Peselan
Bahannya terdiri dari lima jenis
Daun Kayu yang mempunyai lima warna, antaranya : Daun salak, duku, manggis,
nangka dan durian, digulung kecil-kecil menjadi satu ikatan memanjang. Maknanya
lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma,
daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul
lambang Siva dan juga merupakan lambang
kerjasama (Tri Hita Karana).
11.
Kemiri
Dipakai
butirnya yang telah dikelupas yang bentuknya seperti Jakun. Maknanya adalah
simbol
Purusa / Kejiwaan / Laki-laki dan bintang atau “ nata “ yakni cerminan
Sang Hyang Parama Siwa
12.
Pangi
Dipakai
sebutir, bentuknya menyerupai Dagu. Makna adalah simbul sarwa pala bungkah cerminan
Sang Hyang Boma dan lambang pradhana / kebendaan /
perempuan.
13.
Kojong
Terbuat
dari daun kelapa tua/selepan untuk tempat telur dan pisang. Bila dilihat dari
bentuknya adalah segi tiga yaitu mencerminkan saktinya Tri Murthi.
14.
Uang Kepeng
Dipergunakan
dua buah sebagai sesantun/ sesari dan juga lambang dari Deva Brahma yang
merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
15.
Pisang
Pisang
dipergunakan adalah Pisang Kayu yang masih mentah sebiji. Pisang/Byu Kayu dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” ada disebutkan : Byu nga; hayuning citta maring
hayu. Maksudnya sebagai lambang ada atau mempunyai pikiran untuk berbuat baik
secara lahir dan bathin. Kata “Kayu” ngaran “Kayun”, Kayun ngaran pikiran.
16.
Canang Genten
Dalam
pembuatannya, Canang genten sebagai alasnya dapat dipergunakan sebuah
“Ituk-ituk” atau “Ceper” yang diatasnya secara berturut-turut diisi Plawa/daun
kayu sebagai lambang ketenangan hati, kemudian sirih, kapur dan pinang,
selanjutnya di atasnya disusun lagi dengan Jejahitan yang bernama “wadah
lengis” yaitu sebagai tempat minyak wangi, bunga-bungaan, kembang rampe dan
uang. “wadah lengis” ini dibuat dengan reringgitan janur dibentuk sesuai dengan
fungsinya.
Reringgitan
merupakan bukti bhakti ketetapan dan ketulusan hati, Bunga sebagai lambang
kesucian hati, kembang Rampe yang dibuat dari irisan daun Pandan Harum dicampur
dengan minyak wangi sebagai lambang alat perangsang pikiran ke arah pemusatan
untuk berhubungan dengan Hyang Widhi.
Bagian atasnya diisi
Sesari/sesantun berupa uang, sesuai dengan tingkatan yadnya dan kemampuan yang
beryadnya, merupakan perlambang “Sarining Manah” yaitu Sari atau Inti daripada
Pikiran yang juga berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang mungkin masih ada.
Makna dan Penggunaan
Banten Sesayut Sidha
Karya dan Sesayut Sidha Purna
Pengertian
Sesayut
Menurut
Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan
bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut”
atau “nyayut” dapat diartikan
mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari
Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia
dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa
sesayut berasal dari kata “sayut”
yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah
orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau
penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya
Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu.
Kata “ayu” mendapat pengater Dwi
Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian
mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut
merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang
melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan
sebagainya.
Kulit
sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit
sesayut terdapat isehan. Ada dua
jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan
tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian
plaus yang kedua tangkihnya
digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan.
Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan
potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam banten sesayut banyak terdapat
jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis
sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun
yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut
Sidha Purna.
Sesayut
Sidha Karya
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar
terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan
yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan
upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak
menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca
Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi
menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang
digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu
mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya
memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih,
Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’
berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut,
maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini
dapat dikatakan sebagai pemuput dalam
suatu rangkaian upacara yajna.
Ida
Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut
(2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara
Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah
‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam
bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut
Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha
Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh
Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat
dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk segi
empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung berisi
nasi
-
Raka-raka (jajan-jajan
dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian Sesayut
Cara
Menatanya:
Kulit sesayut diletakkan di atas
nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah
segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung
tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan)
serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan
pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut
Sidha Purna
Sesayut
Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya.
Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak
diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang
Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana..
Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas
pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).
Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa
Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
nasi 3 bulung
-
telur itik rebus dibagi
3
-
bunga tunjung
-
raka-raka (buah dan
jajan)
-
sampian nagasari
Cara
menatanya:
Untuk alasnya bisa digunakan nampan
atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di
atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan
buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006;
196
Adapun beberapa
makna yang terkandung di dalam komponen sesayut sidha karya dan sesayut sidha
purna meliputi:
a. tetebasan
atau kulit sesayut lambang kesungguhan hati dalam mempersembahkan yadnya.
b. segehan,
simbol Sang Hyang Panca Dewata
Segehan pun dibuat
harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan
canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah
seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol
keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan
kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
- Arah
Timur, warna nasi adalah putih.
- Arah
Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau
diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
- Arah
Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
- Arah
Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Di dalam segehan,
selain nasi kepel juga berisi :
• Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat
penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang
welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya,
demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
• Bunga,.
• Garam
sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
• Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat
kemalasan.
• Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat
keserakahan.
Garam, bawang dan jahe
adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada
asalnya.
c. kwangen,
merupakan symbol dari Ongkara, yaitu kojong adalam simbol ‘angka tiga’,
potongan bagian atas yang lonjong adalah merupakan simbol “ardha candra”, uang
yang bentuknya bulat adalah simbol “windu”, sedangkan cili, bunga serta
daun-daunan/plawa adalah simbul “nada”.
d. raka
(jajan dan buah), melambangkan hasil bumi
e. porosan,
melambangkan Tri Murthi
bunga, sebagai symbol
kesucian hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar