Senin, 27 Januari 2014

MAKNA BANTEN DALAM SIVASIDDHANTA


Mengkaji Makna dari Canang Sari dan penyatuan terhadap Sivasiddhanta

1.    Canang Sari
Kata Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti : “Sirih” yang mana Sirih disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan daun Sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Hal itu hingga sekarang masih bertahan terutama kebiasaan bagi para Tetua dalam memakan daun Sirih itu, yang di bali disebut dengan “Pecanangan”. Daun Sirih merupakan benda yang bernilai tinggi dan sengaja dipergunakan sebagai kebiasaan dalam menyambut tamu dan sebagai lambang penghormatan.
2.    Perlengkapan Canang Sari
a.       Ceper
Benda ini dapat berbentuk segi empat sama sisi yang terbuat dari rangkaian Janur yang merupakan sebagai alas dari Canang. Bentuk dari segi empat ini adalah melambangkan “Catur Loka Pala” atau empat arah mata angin sedangkan silang sebagai penutupnya yaitu empat arah lagi, sehingga akan menjadi Delapan arah mata angin yaitu bentuk dari “Astadala”

a.       Porosan 
Yaitu suatu bentuk rangkaian benda, bila diperhatikan berbentuk wajik agak memanjang yang terbuat dari bahan : Janur, Sirih, Kapur, Pinang dan Semat. Unsur spiritual yang ada pada “ Porosan” adalah wujud dari “Tri Murthi” yaitu Saktinya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu dan Iswara. Untuk itulah Beliau diwujudkan ke dalam bentuk “Porosan”. Porosan merupakan unsur sarana pokok dalam canang.
Pinang sebagai lambang pemujaan Brahma, Sirih sebagai lambang pemujaan Wisnu dan Kapur sebagai lambang pemujaan Iswara.
b.      Plawa
Sebagai lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Sebab dalam pemujaan kehadapan Tuhan sesuai manifestasinya, haruslah ditumbuhkan pikiran yang hening suci. Karena pikiran yang hening sucilah mampu menangkal segala bentuk pengaruh negatif/ godaan nafsu duniawi. Dengan pikiran yang hening suci, akan dapat menarik dan menghadirkan serta selanjutnya mendapatkan “Wara Nugraha” Hyang Widhi.
c.       Bunga 
Bunga sebagai lambang ketulus ikhlasan hati. Dalam pemujaan kehadapan Tuhan dibutuhkan suatu ketidak ragu-raguan, artinya terfokus, percaya dan yakin akan keberadaan Beliau. Percaya dan yakin adalah sumber asal dari ketulus iklasan. Bunga yang dipakai adalah bunga yang segar, bersih, suci dan tidak layu dalam artian telah dijamah/ dimakan hewan seperti ulat dan belalang. Bunga juga salah satu wujud dari cerminan kasih sayang terhadap sesama ciptaan Tuhan.
d.      Jejahitan
Dalam pembuatan suatu bentuk persembahan, khususnya Canang tiada lepas dari bentuk “Jejahitan” dan atau “Tetuasan”. Secara nyata mejejahitan, apalagi dilaksanakan secara bersama-sama, hal ini merupakan ungkapan rasa kebersamaan dan gotong royong di masyarakat. Jejahitan merupakan suatu ungkapan ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Hyang Widhi.
e.       Urassari
Benda ini berwujud dasar “ Tapakdara” yaitu lambang Swastika yang masih Netral. Dimana bentuk Tapakdara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaannya kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Urassari ini terbuat dari dua potong Janur yang mana diberikan Tetuasan sedemikian rupa dan dijahit yang selanjutnya akan berwujud menjadi bentuk “Catur Loka Pala” dan terakhir menjadi Swastika dan dengan hiasan menyilang ke sudut-sudutnya menjadilah bentuk “Padma Astadala”. Padma Astadala ini merupakan lambang perputaran alam yang seimbang yng merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Padma Astadala ini disebutkan juga sebagai Delapan arah penjuru alam dan juga sebagai Sthananya Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan dengan uraian sebagai berikut :
-          Timur, warna Putih berstana Dewa Iswara
-          Tenggara, warna Dadu (merah muda) bersthana Dewa Mahesora
-          Selatan, warna Merah bersthana Dewa Brahma
-          Baratdaya, warna Orange berstana Dewa Rudra
-          Barat, warna Kuning berstana Dewa Mahadewa
-          Barat laut, warna Hijau berstana Dewa Sangkara
-          Utara, warna Hitam berstana Dewa Wisnu
-          Timur laut, warna Abu/Biru berstana Dewa Sambu
-          Tengah, warna Mancawarna berstana Dewa Siwa
Dengan bentuk Jejahitan “Urassari” maksudnya adalah disamping sebagai stana para Dewata Nawa Sanga juga merupakan permohonan kehadapan para Dewa untuk berkenan memberikan Anugerahnya dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, Bahagia dan Sejahtera.
1.    Tatacara membuat Canangsari
Sebagaimana disebutkan bahwa dasar dari sarana persembahan kehadapan Tuhan adalah berupa : Daun, Bunga, Buah/Biji, dan Air serta Api. Maka disini perlu diperhatikan mengenai tatacara membuat canang dimaksud sebagai berikut :
-       Pertama-tama persiapkan Ceper, selanjutnya diisi Porosan.
-       Di atas Porosan diletakkan Irisan pisang, tebu, kiping dan bhasma (miik-miikan) berupa serbuk Cendana dan juga tepung yang berwarna putih dan kuning.
-       Diatassnya disusun dengan Urassari.
Terakhir barulah dirangkai bunga sesuai dengan warna dan arah mata angin, yaitu : timur dengan bunga warna putih, selatan warna merah, barat warna kuning, utara memakai warna pelung (karena bunga warna 
hitam tidak ada) sedangkan ditengahnya disusun dengan Kembang Rampai (irisan daun pandan harum)


FILOSOFI BANTEN PERAS DALAM SIVASIDDHANTA

PENGERTIAN PERAS
Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya “Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya.
Dalam Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
PERLENGKAPAN PERAS
Banten Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan / Tetuasan, antara lain :
a.       Taledan / Tamas / Ceper
Sebagai dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna dari Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
b.      Tampelan, Benang Tukelan dan Uang
Ini berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan ini adalah (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan adalah kesucian dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dan Makna dari Uang adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
c.       Tumpeng
Dibagian depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi. Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa nafsu.
d.      Rerasmen
Rerasmen (lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan (telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
Mengenai sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan sebagai berikut :
Kacang nga ; ngamedalang pengrasa tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya : Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun melambangkan kesatuan.
Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos sane becik rinengo
Artinya :
Ulam itu ikan yang dipakai sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik  untuk didengarkan.
e.       Buah
Dibagian belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel, salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa Wija nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan.
Artinya :
Segala macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
f.       Jajan
Jajan ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina, Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Gina/ bagina nga; wruh, Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga; pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga; pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya :
Gina lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama dengan patuh.
g.      Sampyan Peras
Berupa sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga; ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih.
Artinya :
Sirih dan pinang itu perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah adanya arti dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam kehidupan keagamaan Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat umat manusia kehadapan Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk mensahkan dan atau meresmikan dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon kehadapan Hyang Widhi atas keberhasilan suatu tujuan.
Dalam setiap akhir persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik beberapa bagian dari Tiga lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada alas banten Peras.
Adapun mantra Peras adalah sebagai berikut :

Om Suddha bumi suddha akasa
Om Suddha dewa suddha manusa
Om Siddhir astu tad astu
Om Ksama sampurna ya namah swaha


Om Mili mili maha amrtham
Suksma parama siwa ya namah
Om Ung ung Om Ang Ung Mang.

Om Ekawara, Dwiwara, Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
                        Parisudha ya namah swaha, Om.



Banten Ajuman
Ajuman merupakan bagian macam dan jenis banten / upakara yang sangat sering digunakan dalam pelaksanaan bhakti kehadapan Hyang Widhi. Ajuman ini berfungsi sebagai bentuk suguhan kehadapan Hyang Widhi, karena didalamnya dilengkapi dengan nasi, lauk pauk dan buah. Banten Ajuman ini sering juga disebut dengan nama Rayunan, Sodan, Ajengan dan Soda Rayunan. Ajuman disebut soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain.
Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Perlengkapan dari Banten Ajuman / Sodaan antara lain :
Bahan perlengkapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut "penek" atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terong, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Sebagai alasnya dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya. Di atasnya diisi dua buah penek, lauk pauk yang dialasi dengan tangkih berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih. Kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut "sampian kepet-kepetan". Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
v Alasnya tamas/taledan/ceper ini merupakan Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda) sedangkan Ceper/ Taledan lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga). Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi).
v Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
v Sampyan Plaus/Petangas dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas yang dilengkapi dengan porosan yaitu simbol Tri Murthi, wadah lengis dan bunga, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.
v Beberapa jenis jajan, buah-buahan lambang dari hasil perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan ini menyebabkan perasaan menjadi satu, ikan teri lambang bicara yang baik untuk didengarkan, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambel.
Penyatuan Konsep Sivasiddhanta Dalam Banten Ajuman
Adanya sekta Waisnawa dengan memakai taledan atau tamas yang merupakan lambang cakra, sebagai simbol senjata dari Dewa Wisnu, selain sekta Waisnawa terdapat pula dari Sekta Siva dan Sekta Brahma yang dipuja sebagai Tri Murthi didalam perlengkapan Banten Ajuman yaitu Sampyan Plaus/Petangas dimana dilengkapi dengan Porosan yang terbuat dari daun sirih melambangkan Dewa Wisnu, Kapur melambangkan 
Dewa Siva dan Pinang melambangkan Dewa Brahma


FILOSOFI DAKSINA DALAM SIVASIDDHANTA
Daksina nama sebuah banten yang juga terdiri dari berbagai bahan yang mengandung unsur-unsur sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagawadgita IX. 26, yaitu pattram, puspham, phalam dan toyam. Unsur-unsur tersebut secara nyata berupa antara lain :
  1. Daun / pattram, berupa daun : Janur, slepan/daun kelapa yang warna hijau, Sirih, Plawa/daun kayu-kayuan dan Peselan.
  2. Bunga / puspham, berupa bunga yang terdiri dari : Jenis-jenis bunga yang boleh dimanfaatkan untuk upakara yang segar, bersih, harum, dipetik langsung dari pohonnya, tidak layu dan tidak camah/bekas gigitan ulat/belalang. Hindari memakai bunga yang telah dirubung semut, serangga, terjatuh dengan sendirinya, bunga sarikonta, kedukduk, tulud nyuh, bunga ditanam dikuburan/setra, bunga berbulu dalam semua permukaannya.
  3. Buah / Phalam, berupa buah-buahan terdiri dari : kelapa, pisang, kemiri, panggi, pinang, bijaratus.
  4. Toyam / air, berupa air yang ada dalam kelapa yang dipakai daksina.

Sedangkan mengenai perlengkapan berupa Telur dan Uang (kepeng) “ Pis Bolong” dan atau uang beneran yang dipakai jual beli dalam keseharian dapat dimasukkan kedalam pengertian buah. Kata buah disini bermakna juga mengandung pengertian yang agak luas, yaitu dalam keseharian umat manusia jelas bekerja dan mendapatkan hasil. Uang itu merupakan buah/hasil dari bekerja, di Bali disebut dengan istilah “Buah Pegae” yaitu hasil dari bekerja. Telur dapat diartikan sebagai buah perut, yang mana juga berartikan simbolisasi dari pada Tri Guna yaitu Sattwam, Rajah dan Tamah.
Dalam Lontar Yadnya Prakerthi, Daksina disebut sebagai lambang dari Hyang Guru, Hyang Tunggal dan Hyang Wisnu, yang mana semuanya nama lain dari Dewa Siwa.

ARTI DAN MAKNA DARI DAKSINA
Adapun Arti dan Makna tiap perlengkapan Daksina ada sebagai berikut :
1.      Wakul
Berupa Babedogan, terbuat dari daun kelapa hijau (tua), di Bali disebut dengan Selepan, wujudnya bundar memanjang, sebagai perlambang kebulatan tekad dan atau pemusatan pikiran terhadap Hyang Widhi.
2.      Tampak
Yaitu benda terbuat dari dua potong janur dijahit menyilang seperti Tapakdara (+). Sebagai dasar dari semua perlengkapan daksina berada paling bawah di dalam wakul, terbuat dari dua potong janur atau selepan yang berbentuk silang sebagai perlambang “Catur Loka Pala” merupakan empat arah dan dasar netral dari Swastika yang selanjutnya akan membentuk “Padma Astadala” sebagaimana disebutkan sama dengan “Urassari dalam Canang Sari.
3.      Benang Tukelan
Yaitu sehelai benang warna putih yang diletakkan di atas “Tampak” berfungsi sebagai akar dan lambang penghubung, diletakkan melingkar.
4.      Beras
Beras merupkan biji / buah (phalam) yang merupakan perlambang dari Amrtha. Dalam Sivasiddhanta adanya sekte Waisnawa dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi kebahagiaan dan kemakmuran.
5.      Base Tampelan
Terbuat dari dari dua lembar daun Sirih, satu berfungsi sebagai alasnya sedang satunya diisi kapur dan pinang ditempel di atas lembar pertama kemudian dilipat naik dan turun kmudian dijahit menjadi satu. Base Tampelan perlambang dari Tri Murthi yaitu Pinang saktinya Brahma, Sirih saktinya Wisnu dan Kapur saktinya Iswara. Jadi wujud bhakti kita kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murthi. Dalam Sivasiddhanta dalam hal ini terdapat Sekte Siwa karena memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Tri Murthi.
6.      Kelapa
Dipergunakan sebutir kelapa (terkecuali Daksina Gede mempergunakan serba lima), yang telah dihaluskan atau dikupas bersih serabutnya. Kelapa merupakan salah satu jenis tumbuhan yang semua bagian-bagiannya berguna. Khusus untuk buahnya ada disebutkan semakin tua semakin bersantan.
Dalam “Lontar Siwagama” disebutkan bahwa kelapa adalah salah satu kepalanya Bhatara Brahma yang disimpan di dalam tubuhnya. Kemudian diambil oleh Bhatara Guru di bawa ke selatan menuju pinggiran gunung Kampud dekat laut. Lama kelamaan tumbuhlah menjadi kelapa. Selain itu kelapa juga perlambang dari alam semesta (Bhuana Agung) disebutkan dalam Lontar “Aji Sangkhya” bahwa alam ini terbagi menjadi 14 lapisan terdiri dari 7 dalam Prthiwi disebut dengan “Sapta Petala” dan 7 lapisan lagi termasuk ke dalam Angkasa disebut dengan “Sapta Loka”.
Yang termasuk ke dalam “Sapta Petala” dalam wujud kelapa terdiri dari : Air kelapa (Mahatala), Isi kelapa yang lembut (Tala-tala), Isi Kelapa (Tala), Lapisan pada isi kelapa (antala), Lapisan pada isi kelapa (Sutala), Lapisan tipis bagian dalam kelapa (nitala), batoknya (patala).
Yang termasuk “Sapta Loka” pada kelapa antara lain : Bulu batok kelapa (bhur loka), Serat saluran (bwah loka), Serat serabut basah (swah loka), Serabut basah (mahaloka), Serabut kering (jnana loka), Kulit serat kering (tapa loka), Kulit luarnya (setia loka).
7.      Telur Itik
Penggunaan telur itik dasar pemikirannya adalah, bahwa dalam keseharian, Itik adalah salah satu hewan yang bersifat sangat Bijaksana dan dapat hidup di tiga tempat (air, darat dan udara), selain itu dalam kehidupannya sehari-hari rasa persaudaraan sesamanya sangat rukun dan mudah untuk diatur. Demikian juga halnya dalam pemilihan makanan, walaupun tercampur dengan air dan lumpur sekalipun, tidak pernah ditemukan saat makan, Itik saling serang antar sesamanya.
Telur daksina untuk pejati dan lainnya, yang dihaturkan kehadapan Hyang Widhi, agar selalu diusahakan memakai telur itik, hal ini didasarkan karena sifat dari Itik itu sendiri sebagai simbol dari Sattwam. Sedangkan untuk Bhuta Yadnya, bila tidak memungkinkan pemakaian telur itik, bisa dipergunakan telur ayam, tercermin lebih banyak sifat Rajah dan Tamah. Dalam pemakaian telur, hendaknya juga diingat pemakaian telur yang masih segar, jangan mempergunakan telur yang rusak dan atau sisa dari penetasan.
8.      Bijaratus
Berasal dari kata “Bija” sama dengan Biji dan “Ratus” sama dengan Paduan. Secara nyata, Bijaratus adalah Perpaduan dari biji-bijian yang berwarna lima macam, yaitu : Biji Jawa (putih), Biji Jagung Nasi (Merah), Biji Jagung (kuning), Biji Godem (hitam), dan Biji Jali-jali (brumbun). Semua biji-bijian itu dibungkus dengan Keraras. Arti dan maknanya adalah mencerminkan lima arah mata angin sebagai mana disebutkan dalam “Catur Loka Pala” yang mana putih (Iswara di timur, merah (brahma) di selatan, kuning (mahadewa) di Barat, hitam (Wisnu) di utara dan brumbun (Siwa) di tengah.
9.      Gantusan
Terbuat dari campuran beberapa jenis Bumbu, Garam dan ikan Teri, kemudian dibungkus dengan Keraras. Maknanya adalah sebagai bekal dan kehangatan untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera. Dan sebagai lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
10.  Plawa Peselan
Bahannya terdiri dari lima jenis Daun Kayu yang mempunyai lima warna, antaranya : Daun salak, duku, manggis, nangka dan durian, digulung kecil-kecil menjadi satu ikatan memanjang. Maknanya lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lambang Siva dan  juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
11.  Kemiri
Dipakai butirnya yang telah dikelupas yang bentuknya seperti Jakun. Maknanya adalah simbol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki dan bintang atau “ nata “ yakni cerminan Sang Hyang Parama Siwa
12.  Pangi
Dipakai sebutir, bentuknya menyerupai Dagu. Makna adalah simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Boma dan lambang pradhana / kebendaan / perempuan.
13.  Kojong
Terbuat dari daun kelapa tua/selepan untuk tempat telur dan pisang. Bila dilihat dari bentuknya adalah segi tiga yaitu mencerminkan saktinya Tri Murthi.
14.  Uang Kepeng
Dipergunakan dua buah sebagai sesantun/ sesari dan juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
15.  Pisang
Pisang dipergunakan adalah Pisang Kayu yang masih mentah sebiji. Pisang/Byu Kayu dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” ada disebutkan : Byu nga; hayuning citta maring hayu. Maksudnya sebagai lambang ada atau mempunyai pikiran untuk berbuat baik secara lahir dan bathin. Kata “Kayu” ngaran “Kayun”, Kayun ngaran pikiran.
16.  Canang Genten
Dalam pembuatannya, Canang genten sebagai alasnya dapat dipergunakan sebuah “Ituk-ituk” atau “Ceper” yang diatasnya secara berturut-turut diisi Plawa/daun kayu sebagai lambang ketenangan hati, kemudian sirih, kapur dan pinang, selanjutnya di atasnya disusun lagi dengan Jejahitan yang bernama “wadah lengis” yaitu sebagai tempat minyak wangi, bunga-bungaan, kembang rampe dan uang. “wadah lengis” ini dibuat dengan reringgitan janur dibentuk sesuai dengan fungsinya.
Reringgitan merupakan bukti bhakti ketetapan dan ketulusan hati, Bunga sebagai lambang kesucian hati, kembang Rampe yang dibuat dari irisan daun Pandan Harum dicampur dengan minyak wangi sebagai lambang alat perangsang pikiran ke arah pemusatan untuk berhubungan dengan Hyang Widhi.
Bagian atasnya diisi Sesari/sesantun berupa uang, sesuai dengan tingkatan yadnya dan kemampuan yang beryadnya, merupakan perlambang “Sarining Manah” yaitu Sari atau Inti daripada Pikiran yang juga 
berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang mungkin masih ada.


Makna dan Penggunaan
Banten Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna

Pengertian Sesayut
            Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
            Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya.
            Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah. 
            Dalam banten sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna.
Sesayut Sidha Karya
            Seperti yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
            Hal senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.
            Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat dan Bahan:
-          Kulit Sesayut
-          Segehan bentuk segi empat
-          Tumpeng kecil
-          4 buah kwangen
-          2 buah tulung berisi nasi
-          Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
-          Daun sirih dan pinang
-          Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
Kulit sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut Sidha Purna
Sesayut Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).  Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
-          Kulit Sesayut
-          nasi 3 bulung
-          telur itik rebus dibagi 3
-          bunga tunjung
-          raka-raka (buah dan jajan)
-          sampian nagasari
Cara menatanya:
Untuk alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196
Adapun beberapa makna yang terkandung di dalam komponen sesayut sidha karya dan sesayut sidha purna meliputi:
a.       tetebasan atau kulit sesayut lambang kesungguhan hati dalam mempersembahkan yadnya.
b.      segehan, simbol Sang Hyang Panca Dewata
Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
-       Arah Timur, warna nasi adalah putih.
-       Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
-       Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
-       Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
    Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
     Bunga,.
     Garam  sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
     Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
     Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya. 
c.       kwangen, merupakan symbol dari Ongkara, yaitu kojong adalam simbol ‘angka tiga’, potongan bagian atas yang lonjong adalah merupakan simbol “ardha candra”, uang yang bentuknya bulat adalah simbol “windu”, sedangkan cili, bunga serta daun-daunan/plawa adalah simbul “nada”.
d.      raka (jajan dan buah), melambangkan hasil bumi
e.       porosan, melambangkan Tri Murthi
                  bunga, sebagai symbol kesucian hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar