Kamis, 23 Januari 2014




UTS SIVA SIDDHANTA I

Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.




                             IHDN DENPASAR               
                                                


Oleh:

LUH ARI LIANI
10.1.1.1.1.3880
Pah / iv b

                         

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
  2012



Ujian Tengah Semester (UTS)


1.      Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
Jawab :
Penyebar Siva Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh ( India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Triwindu atau Bhatara Guru. 
Pemantapam paham Siva Siddhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan/Danghyang Nirartha. Ada beberapa tokoh orang suci yang menerima wahyu Hyang Widhi di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke empat belas yaitu:

a.    Danghyang Markandeya
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten) dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
b.   Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti: daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
c.    Mpu Kuturan
Beliau datang ke Bali pada abad ke-11 dari Majapahit. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Ring Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, an pembangunan Pura-Pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). 
d.   Mpu Manik Angkeran
Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
e.    Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
f.    Danghyang Dwijendra
Datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan adalah Padmasari atau Padmasana.

2.      Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta!
Jawab : 
Karena beberapa sekte-sekte yang ada di Bali, sekte Siva Siddhnta sekte yang paling dominan. Siva Siddhanta mempunyai ajaran yang khas yang berbeda dengan sekte Siwa yang lain, dimana arti dari Siva Siddhanta adalah kesimpulan dari Siwaisme, sehingga semua sekte luluh dengan Siva Siddhanta dan Siva Siddhanta sudah mencakup ajaran-ajaran dari sekte lain. Maka dari itu, untuk menyederhanakan keagamaan di Bali dan mempermudah memahami ajaran keagamaan, semua aliran atau sekte di Bali ditampung ke dalam satu wadah yaitu dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta.


3.      Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan!
Jawab :
Mpu Kuturan yang berasal dari Jawa Timur membangun asrama pertapaan di Pura Silayukti di Teluk Padang (Padangbai) di Pantai Selatan Karangasem.
a.       Beliau mengajar dan memberi nasihat sekalian masyarakat Bali tentang Silakrama-pengetahuan falsafah dunia besar dan dunia kecil termasuk Tuhan dan jiwatma manusia, karma phala, wali-wali, wali-wali mangjadma, terutama dalam hal membangaun kahyangan-kahyangan dan palinggih-palinggih (bangunan suci). Bhatara roh suci leluhur dan menyebar anak keturunan Sang Sapta mpu (tujuh pendeta) yang kemudia berkedudukan sebagai para ksatria Bali, yang terkenal dengan sebutan Warga Pasek, di Seluruh pelosok Bali sebagai pemimpinmpemerintahan yang berdasarkan agama dengan dibekali ajaran Kusuma Dewa, Widhi Sastra dan Sangkara Yuga.
b.      Sejak itu orang-orang pasek disebut Pangeran Desa (Bandesa) yang mengatur Pemerintahan Agama di desa-desa dengan jalan membangun palinggih-palinggih, pura, kahyangan yang dibuat dari batu atau kayu yang dipahat indah. Kepandaian memahat batu dan kayu sehingga menjadi arca atau patung telah lama dijalankan oleh seniman-seniman Indonesia, sebelum menerima pengaruh asing berupa agama hindu dan budha dari tanah luaran. Kegemaran memahat batu dan kayu itu memang umum di Indonesia baik sebelum atau sesudah peradaban asing masuk ke mari. Seni pahat seperti berlaku dan diciptakan dipulau bali pada waktu kini dan membuat lukisan cerita sebagai hiasan candi-candi borobudur, prambanan dan penataran sukarlah mendapat taranya di atas dunia di sepanjang sejarah kesenian sejagat. (dipetik dari kitab 6000 tahun sang saka merah putih oleh Mr. Muhamad Yamin, muka 72)
Misalnya :
a.       Dalam satu pekarangan rumah harus ada sanggah kemulan, taksu dan tugu (jenis bangunan suci) untuk kesejahteraan rumah tangga.
b.      Sanggah pamerajan (juga jenis kelompok bangunan suci), untuk satu ikatan jiwa dalam satu famili agar hidup rukun, gotong royong, tenggang-menenggang, seia-sekata dalam menghadapi suka duka gelombang hidup dalam masyarakat, dengan mengisi bangunan-bangunan kecil di dalamnya yang disebut pelinggig-pelinggih misalnya Sanggah surya (luhuring akasa), Sanggah kemulan (kawitan ) dan pelinggih-pelinggih sad kahyangan. Jika seorang diantaranya meninggal semua bela sungkawa menganggap diri cuntaka atau sebel (kotor batiniah)

4.      Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
Jawab :
Kahyangan Tiga dan Merajan adalah mencerminkan berbagai macam aliran yang pernah berkembang di masyarakat Bali. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang ada. Merajan dilihat dari segi istilah kata itu berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu sistem pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut seorang raja didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa Sansekerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada. Merajan memiliki makna atau arti yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pemujaan kepada leluhur dan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
a.    Padmasana yaitu Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte Siwa Siddhanta dan Sekte Surya yang sering disebut sebagai Dewa Surya di keluarga saya. Makna dari palinggih ini adalah sebagai penerang dalam setiap keluarga atau rumah. Ini termasuk sekte Sora dimana pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama.
b.    Kemulan Rong Tiga yaitu Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma(dikanan), Wisnu(dikiri) dan Siwa(ditengah) atau disingkat dengan Bhatara Hyang Guru. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte Siwa.
c.    Taksu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte pemuja sakti yang dianggap sebagai pemberi anugerah.
d.   Rong Dua/Kawitan/Leluhur adalah tempat pemujaan roh para leluhur atau disingkat dengan Bhatara Hyang Kompyang.

5.      Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris dalam Siva Siddhanta!
Jawab :
Wrhaspati Tattwa menyebutkan bahwa ada dua unsur element utama yang menjadi sumber adanya segala sesuatu yang disebut Rwa Bhineda tattwa yakni terdiri dari Cetana dan Acetana. Cetana merupakan kata benda netrum yang berarti jiwa, kepribadian atau kesadaran. Sedangkan Acetana bermakna tanpa kepribadian atau kesadaran.
Maka bisa dikatakan orang-orang yang melakukan menyontek, korupsi dan teroris tidak memiliki suatu kesadaran (Acetana), tidak memikirkan dampak negatif dari perbuatannya. Kalau orang yang korupsi tidak memikirkan nasib rakyat, sedangkan teroris telah tidak sadar membunuh rakyat yang tidak bersalah. Dan menyontek tidak sadar akan membohongi dirinya sendiri dalam mendapatkan suatu nilai yang tidak murni.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar